Jonathan Edwards
Pada tahun 1630, sepuluh tahun setelah serombongan kecil kaum Peziarah mendirikan permukiman di Plymouth, sebuah migrasi kaum Puritan yang besar mulai mendirikan persemakmuran Kristen di Massachusetts. Lebih makmur dalam harta duniawi daripada Pilgrim Fathers (kaum Puritan pertama di Amerika), kaum Puritan ini juga berbeda dalam tujuannya mendatangi rimba Amerika. Mereka berharap mendirikan masyarakat berdasarkan Alkitab, yang akan menjadi contoh bagi Inggris untuk mengikuti reformasi dan pembaruan. Seperti yang ditulis gubernur mereka, John Winthrop, "Kita harus beranggapan bahwa kita merupakan sebuah kota di atas bukit, dan semua mata menatap kita." Ketika koloni Puritan tersebut bertumbuh dan menjadi makmur, niat keagarnaan mula-mula pemukim tersebut menurun; generasi kedua dan ketiga lebih mempedulikan benda-benda duniawi ketimbang mendirikan kerajaan Allah di Amerika.
Mereka yang setia hanya memperhatikan, dan ada yang meratapi perkembangan-perkembangan tersebut. Ide kaum Puritan bahwa negeri baru akan merupakan tempat yang cocok untuk mengembangkan persemakmuran suci lambat-laun memudar. Mereka yang setia tidak meragukan bahwa meskipun Inggris secara spiritual sakit — ataupun coati — koloni-koloni dapat atau harus memperlihatkan spiritualitas yang mendalam.
Jonathan Edwards — jiwa yang sejati dan berharga, yang masuk ke Perguruan Yale pada usia tiga belas tahun — yakin akan hal ini. Untuk sementara waktu, di bawah kakeknya, orang yang berkuasa dan berpengaruh, Solomon Stoddard, Edwards menjadi pastor pendamping di sebuah gereja di Northampton, Massachusetts. Ketika Stoddard meninggal pada tahun 1729, Edwards bertugas sebagai pastor tunggal.
Tidak lama setelah ia datang ke Northampton, Jonathan menikahi Sarah Pierpont yang bijaksana, cantik dan Lulus. Sementara Edwards mempunyai banyak anak dan juga melayani gereja sebagai pastor, ia juga mengambil waktu untuk menciptakan tulisan-tulisan teologis yang termasyhur di dunia. Bacaan yang luas dan berbagai perubahan dramatis yang terjadi di gereja-gereja tempat ia berkhotbah mempengaruhi teologinya.
Dengan menggali dari kedala man Calvinisme, Edwards percaya pada doktrin pemilihan. Meskipun ia mengakui bahwa Allah memilih siapa yang akan diselamatkan-Nya dan siapa yang tidak, Edwards menginginkan setiap orang menjadi yang terpilih. Ia tahu hal ini tidak mungkin, namun ia mendesak bahwa para pastor harus mengajar tentang beratnya dosa dan perlunya hati untuk berpaling kepada Tuhan. Jika tidak, katanya, para pastor gagal dalam tugasnya, dan ia cukup melihat kaum rohaniwan di New England yang tidak mempunyai semangat hidup sebagai contohnya. Ketika ia mengkhotbahkan "God Glorified in Man's Dependence" (Allah Dimuliakan dalam Ketergantungan Manusia) pada tahun 1731, kepada pengunjung di Boston, ia tahu bahwa banyak pendengarnya tertawa sinis karena tekanannya akan dosa yang berakar dan pentingnya perubahan dari dalam.
Selama enam puluh tahun pelayanannya, Solomon Stoddard telah melihat lima "panen", masa-masa peningkatan tekad spiritual, yang menghasilkan kehidupan yang berubah dan peningkatan ketakwaan. Pada tahun 1730-an, Jonathan Edwards berdoa untuk panen. Ia melihat moral yang bejat dan merasakan bahwa penerimaan Arminianisme yang semakin meningkat akan menyebabkan suatu masa ketergantungan spiritual. Ia mulai mengkhotbahkan hal itu.
Pada musim dingin tahun 1734 dan sepanjang tahun berikutnya, perubahan dialami Northampton. Edwards berkata, "Roh Allah dengan luar biasa mulai bekerja." Gerejanya penuh dengan pendengar, banyak di antaranya mencari kepastian keselamatan. "Kota ini tampaknya penuh dengan kehadiran Allah. Tidak pernah ia begitu penuh dengan kasih ataupun kegembiraan, namun ia penuh dengan kecemasan seperti dulu." Pertengkaran dan gosip lenyap karena hampir seluruh kota mengunjungi gereja.
Namun, orang yang telah mendoakan dan berkhotbah untuk kehidupan kotanya tidak memiliki teknik berkhotbah yang penuh dengan kata-kata indah. Khotbahnya berfokus pada pembenaran oleh iman saja dan menunjukkan kegemaran intelektualnya. Meskipun ia tidak menggunakan metode-metode yang akan membangkitkan emosi, namun ia menerima responsrespons beremosi. Para kritikus mengolok-olok saat-saat ratapan pembungkukan badan yang kadang-kadang mengikuti khotbah kebangunan rohani. Di kemudian hari, ketika ia menulis tentang Kebangunan Rohani Besar, Edwards mengakui bahwa tulisan itu membawa ekses-ekses emosional. Tetapi secara keseluruhan, hal itu adalah bukti bahwa Roh Allah bekerja dalam hati manusia.
Edwards tidak seorang diri dalam berkhotbah yang membawa ke kebangunan rohani. Seorang pastor Jerman di New Jersey, Theodore Freylinghuysen, telah bekerja dengan Jemaat Reformasi Belanda sejak tahun 1720. Berita Injilnya yang berkobar-kobar telah membawa basil — dan juga perselisihan. Ia juga membantu Gilbert Tennant, seorang pastor Presbiterian, yang datang ke New Jersey dari gereja dan sekolah ayahnya di Pennsylvania. Gilbert dan saudara-saudaranya — William, Jr., John dan Charles — semuanya telah menjadi pastor-pastor pekabar Injil yang ampuh di New Jersey.
Orang yang mengikat kedua masa kebangkitan ialah George Whitefield seorang pendeta Anglikan — dan temannya John Wesley — yang mulai mengajar di Amerika pada tahun 1738. Dengan tidak menghiraukan ikatan denominasi, dan karena semuanya untuk Kristus, dengan tidak mengenal rasa lelah ia melintasi berbagai negara bagian, mengajarkan berita pertobatan. Di bawah pengaruhnya, seluruh bangsa itu mengalami kebangunan rohani.
Sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555-60.html
No comments:
Post a Comment