Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
Saturday, July 2, 2011
001) Tahun 64 Roma Terbakar
Nero playing while Rome burns, lukisan dari seniman Giulio Romano (c.1499-1546), lukisan ini dibuat antara tahun 1536-1539.
Tanpa kekaisaran Romawi, kekristenan mustahil berkembang dengan sukses. Kekaisaran itu dapat dikatakan sebagai bom waktu yang menanti pemicuan iman Kristen.
Unsur-unsur pemersatu kekaisaran itu memhantu penyebaran berita Injil: jalan raya yang dibangun orang Romawi membuat perjalanan dari situ tempat ke tempat lain lebih mudah; di seluruh kekaisaran orang-orang dapat berkomunikasi dalam bahasa Yunani; dan pasukan Romawi yang tangguh itu menjaga kedamaian. Sebagai akibat mobilitas yang meningkat, kelompok-kelompok pengrajin pun bermigrasi mencari permukiman sementara di kota-kota besar — Roma, Korintus, Athena atau Alexandria -- kemudian berlanjut ke kota-kota lainnya.
Kekristenan memasuki iklim yang terbuka secara religius. Dalam gerakan "zaman baru" itu, banyak orang mulai menganut agama-agama Timur – seperti menyembah Isis (dewi alam), Dionisus (dewa anggur), Mithras (dewa cahaya), Kibele (dewi alam), dan sebagainya. Para pemuja mencari keyakinan baru, namun beberapa agama tersebut dilarang, karena dicurigai melakukan upacara-upacara penghinaan. Keyakinan lain secara resmi diakui, seperti Yudaisme, yang dilindungi sejak zaman Julius Caesar, meskipun monoteismenya dan penyataan alkitabiahnya telah memisahkannya dari Cara pemujaan lain.
Melihat kesempatan baik ini, para pekabar Injil mulai menelusuri seantero kekaisaran. Di sinagoge (rumah ibadah) orang Yahudi, di ternpat-tempat penampungan para pengrajin, di pondok-pondok kumuh, mereka menyebarkan berita Injil dan memenangkan jiwa-jiwa baru. Tidak lama kemudian berdirilah gereja di kotakota besar, termasuk ibu kota kekaisaran.
Kota Roma, pusat kekaisaran, menarik orang-orang seperti magnet. Paulus sendiri pernah menginginkan kunjungan ke kota tersebut (Rm. 1:10-12); dan pada akhir suratnya kepada jemaat di Roma, ia sudah mengenal banyak orang Kristen di sana (Rm. 16:13-15). Mungkin ia pernah bertemu mereka dalam perjalanannya.
Ketika Paulus tiba di Roma, ia dalam keadaan dirantai. Kisah Para Rasul pada bagian penutupannya menyatakan bahwa akhirnya Paulus mendapat kelonggaran untuk menjadi tahanan rumah di sebuah rumah sewaan. Di sana ia dapat menerima tamu dan mengajar mereka.
Menurut tradisi, Petrus pun pernah bergabung dengan Gereja Roma. Meskipun kita tidak mempunyai kurun waktu yang pasti, namun kita dapat menduga bahwa dengan pimpinan kedua tokoh ini, jemaat tersebut bertumbuh kuat, termasuk para bangsawan dan prajurit serta para pengrajin dan pelayan.
Selama tiga dekade, para pejabat Romawi beranggapan bahwa kekristenan adalah cabang agama Yahudi - agama yang sah - dan tidak bermaksud membuat "sekte" baru agama Yahudi. Namun banyak orang Yahudi yang tersinggung karena kepercayaan baru ini mulai menyerangnya. Ini juga merupakan ancaman bagi Roma. Kelalaian Roma atas keadaan tersebut ditunjukkan oleh laporan sejarawan Tacitus. Dari salah satu rumah petak di Roma, ia melaporkan adanya gangguan di kalangan orang-orang Yahudi karena "chrestus". Tacitus mungkin salah dengar; orang-orang mungkin memperdebatkan tentang Christos, yang adalah Kristus.
Menjelang tahun 64 Masehi, beberapa pejabat Romawi mulai sadar bahwa kekristenan sama sekali berbeda dengan Agama Yahudi. Orang-orang Yahudi menolak orang-orang Kristen dan lebih banyak melihat kekristenan sebagai agama yang tidak sah. Jauh sebelum kebakaran kota Roma, masyarakat telah mulai memusuhi keyakinan yang masih muda ini. Meskipun sifat orang Romawi ingin menerima dewa-dewa baru, namun kekristenan tidak mau mengakui kepercayaan-kepercayaan lain. Karena kekristenan menentang politeisme kekaisaran Romawi yang telah berakar, maka kekaisaran itu pun mulai membalas.
Pada tanggal 19 Juli, kebakaran berkobar di sebuah sektor kumuh di Roma. Selama tujuh hari api yang tak kunjung padam itu memusnahkan perumahan yang padat. Sepuluh dari empat belas blok perumahan musnah, dan banyak penduduk yang tewas.
Menurut legenda, Kaisar Nero sedang bermain biola ketika Roma terbakar. Banyak orang sezamannya menduga bahwa dialah yang bertanggung jawab atas kebakaran tersebut. Ketika kota itu dibangun kembali dengan dana dari masyarakat, Nero mengambil sebidang tanah yang cukup luas untuk membangun Istana Emasnya. Kebakaran itu merupakan jalan pintas bagi pembaruan perkotaan.
Untuk mengelakkan tuduhan atas dirinya, Kaisar itu mengkambinghitamkan orang-orang Kristen. Ia menuduh bahwa merekalah yang memicu kebakaran tersebut. Akibatnya Nero bersumpah untuk memburu dan membunuh mereka.
Gelombang pertama penganiayaan orang Romawi terhadap orang Kristen dimulai tidak lama setelah kebakaran itu dan berakhir sampai tahun kematian Nero, tahun 68. Dengan haus darah dan biadab, orang-orang Kristen disalibkan dan dibakar. Jasad-jasad mereka berjejer di jalan-jalan Roma, disediakan bagi pencahayaan obor. Orang-orang Kristen lainnya dikenakan pakaian hewan dan dimasukkan ke dalam kandang untuk dicabik-cabik anjing-anjing. Menurut cerita, Petrus dan Paulus menjadi martir akibat penyiksaan Nero. Paulus dipenggal kepalanya sedangkan Petrus disalibkan terbalik.
Penganiayaan berlangsung secara sporadis, dan tetap terlokalisasi. Seorang kaisar mungkin telah memicunya dan berlanjut selama lebih kurang sepuluh tahun. Namun, masa damai akan menyusul sampai ada seorang gubernur yang memulai penganiayaan terhadap orang Kristen di wilayahnya — tentu dengan restu dari Roma. Hal semacam ini berlangsung dua setengah abad lamanya.
Tertullianus, seorang penulis Kristen abad kedua pernah berkata, "Darah para martir adalah benih Gereja." Anehnya, setiap kali penganiayaan merebak, orang Kristen yang menjadi korban makin bertambah. Dalam suratnya yang pertama Petrus menguatkan orang-orang Kristen untuk bertahan, percaya diri akan kemenangan dan kuasa Kristus yang akan diteguhkan (1 Ptr. 5:8-11). Kata-katanya ini telah terbukti dengan pertumbuhan Gereja di tengah-tengah penekanan.
Sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html#5512
002) 70 Titus Menghancurkan Yerusalem
Monumen memperingati kemenangan Titus di Yerusalem.
Gessius Florus mencintai uang dan membenci orang-orang Yahudi. Sebagai wakil Roma, ia memerintah Yudea, dengan tidak memandang kepekaan mereka akan agama. Ketika pemasukan pajak menurun, ia pun mulai merampas benda-benda perak dari Bait Allah. Pada tahun 66, ketika kerusuhan menentang dia merebak, ia mengirim pasukan ke Yerusalem untuk menyalib dan membantai sejumlah orang Yahudi. Tindakan Florus ini memicu meledaknya pemberontakan yang selama ini merupakan api dalam sekam.
Pada abad sebelumnya, Roma tidak pernah menangani orang-orang Yahudi dengan baik.
Pertama, Roma telah mendukung Herodes Agung, perampas kekuasaan yang dibenci. Dengan semua bangunan unik yang indah, ia tidak dapat meraih hati rakyat.
Arkhelaus, putra dan penerus Herodes, adalah pemimpin yang keji sehingga rakyat meminta pertolongan Roma untuk menggantinya. Roma pun menolong mereka dengan mengirimkan sejumlah Gubernur secara bergilir – Pontius Pilatus, Feliks, Festus dan Florus. Tugas mereka menjaga ketenteraman di daerah yang tidak stabil itu.
Ketegangan dalam diri masing-masing orang Yahudi tidak mereda. Mereka masih terbuai kenangan masa-masa Makabe, saat mereka terbebas dari penindasan orang-orang Siria. Sekarang, jumlah mereka yang kecil ditambah kebangkitan Roma membuat mereka kembali di bawah kekuasaan orang-orang asing.
Sejak pemerintahan Herodes, denyut jantung revolusi mereka senantiasa berdetak. Orang-orang Zelot dan Farisi, masing-masing dengan caranya sendiri, menantikan perubahan. Mereka menantikan dengan semangat datangnya seorang Mesias. Ketika Yesus memperingatkan bahwa orang-orang akan berkata, "Lihat, Mesias ada di sini, atau Mesias ada di sana!" Ia tidak main-main. Sesungguhnya, seperti itulah semangat masa itu.
Di Masada (sebuah bukit karang yang menghadap Laut Mati, tempat Herodes membangun istananya dan orang-orang Romawi mendirikan benteng), bermulalah pemberontakan orang Yahudi yang berakhir dengan pahit.
Terinspirasi kekejaman-kekejaman Florus, beberapa orang Zelot memutuskan menyerang benteng itu. Yang mengherankan, mereka menang dan membantai tentara Romawi yang berkemah di sana.
Di Yerusalem, kepala Bait Allah menyatakan pemberontakan terbuka melawan Roma dengan menghentikan persembahan harian untuk Kaisar. Tidak lama kemudian seluruh Yerusalem menjadi rusuh; pasukan Romawi diusir dan dibunuh. Yudea memberontak, kemudian Galilea. Untuk sementara waktu tampaknya orang-orang Yahudi unggul.
Cestius Gallus, Gubernur Romawi untuk daerah itu berangkat dari Siria dengan 20.000 tentara. Ia menguasai Yerusalem selama enam bulan namun gagal dan kembali. Ia meninggalkan 6.000 tentara Romawi yang tewas dan sejumlah besar persenjataan yang dipungut dan dipakai orang-orang Yahudi.
Kaisar Nero mengirim Vespasianus, seorang jenderal yang dianugerahi banyak bintang jasa, untuk meredam pemberontakan. Vespasianus pun melumpuhkan kelompok pemberontak tersebut secara bergilir. Ia memulainya di Galilea, kemudian di Transyordania, dan berikutnya di Idumea. Setelah itu, dia mengepung Yerusalem.
Akan tetapi sebelum menjatuhkan Yerusalem, Vespasianus dipanggil pulang ke Roma. Nero wafat. Pergumulan untuk mencari pengganti Nero berakhir dengan keputusan Vespasianus sebagai Kaisar. Titah kekaisaran pertamanya ialah penunjukan anaknya, Titus, untuk memimpin Perang Yahudi.
Maka Yerusalem pun menjadi sasaran empuk setelah terpisah dari daerah-daerah lain. Beberapa faksi (kelompok) dalam kota itu sendiri berebut mengatur strategi pertahanan. Ketika pengepungan sedang berlangsung, penduduk kota pun satu demi satu mati karena kelaparan dan wabah penyakit. Istri imam kepala yang biasanya menikmati kemewahan, turun ke jalan untuk memungut sisa makanan.
Sementara itu, pasukan Romawi menggelar mesin-mesin perang baru, yaitu mesin pelontar batu untuk meruntuhkan tembok-tembok yang melindungi kota. Balok pendobrak pintu gerbang merobohkan benteng pertahanan. Orangorang Yahudi berperang sepanjang hari, dan pada malam hari mereka berjuang untuk membangun kembali tembok-tembok yang runtuh.
Akhirnya, orang-orang Romawi merobohkan tembok lapisan luar, kemudian lapisan kedua
dan akhirnya yang ketiga. Namun orang-orang Yahudi masih berperang sambil merangkak menuju Bait Allah sebagai garis pertahanan terakhir.
Itulah akhir bagi para pejuang Yahudi yang gagah berani dan Bait Allah mereka. Sejarawan Yahudi, Josephus menjelaskan bahwa Titus ingin melindungi Bait Allah tersebut, tetapi prajurit-prajuritnya begitu marah terhadap musuh mereka sehingga mendorong mereka membakar Bait Allah.
Jatuhnya Yerusalem mengakhiri pemberontakan. Orang-orang Yahudi dibantai atau ditangkap serta dijual sebagai budak. Gerombolan orang Zelot yang menduduki Masada bertahan di situ selama tiga tahun. Ketika orang-orang Romawi membangun lereng pengepungan dan menyerbu benteng pegunungannya, mereka menemukan orang-orang Zelot mati bunuh diri sebagai penolakan menjadi tawanan orang asing.
Pemberontakan orang-orang Yahudi ini menandai berakhirnya negara Yahudi sampai zaman modern.
Penghancuran Bait Allah (yang dipugar Herodes) mengubah tata cara peribadahan orang-orang Yahudi. Mereka tidak lagi mempersembahkan korban sembelihan, tetapi memilih dan mengutamakan sinagoge yang didirikan pendahulu mereka ketika Bait Allah (yang didirikan Salomo) dihancurkan orang-orang Babel pada tahun 586 sM.
Kemanakah perginya orang-orang Kristen ketika pemberontakan orang Yahudi itu berlangsung? Sesuai peringatan Kristus (Luk. 21:20-24), mereka lari ketika melihat Yerusalem dikepung pasukan Romawi. Mereka menolak mengangkat senjata dan melawan orang-orang Romawi. Mereka melarikan diri ke Pella di Transyordania.
Setelah bangsa Yahudi serta Bait Allah mereka hancur, orang-orang Kristen pun tidak dapat lagi bergantung pada perlindungan terhadap Yudaisme yang pernah diberikan kekaisaran. Karenanya, tidak ada tempat lagi bagi orang-orang Kristen untuk berlindung dari penyiksaan orang-orang Romawi.
Sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html#5512
003) ±150 Yustinus Martir Menulis Apologynya
Filsuf muda itu berjalan-jalan sepanjang pantai, dengan pikirannya yang aktif, selalu aktif mencari kebenaran baru. Ia telah mempelajari ajaran-ajaran Stoa, Aristoteles dan Phythagoras tetapi sekarang ia menganut sistem Plato. Plato pernah menguraikan bahwa penglihatan akan Tuhan dikaruniakan kepada mereka yang mencari kebenaran dengan sungguh-sungguh. Itulah yang dihendaki Yustinus, sang filsuf.
Ketika berjalan-jalan, ia bertemu dengan seorang Kristen. Yustinus tersentak melihat wibawa dan kerendahan hati orang tersebut. Orang itu mengutip nubuat Yahudi yang menunjukkan bahwa cara-cara orang Kristen itulah yang benar, dan Yesus adalah pernyataan Allah yang sesungguhnya.
Peristiwa itulah yang menjadi titik balik Yustinus. Dengan merenungkan tulisan-tulisan Taurat, membaca Injil dan surat-surat Paulus, maka ia pun menjadi orang Kristen sejati. Selama sisa hidupnya, lebih kurang tiga puluh tahun lamanya, ia mengadakan perjalanan, melakukan pekabaran Injil dan menulis. Ia telah rnemainkan peranan penting dalam perkembangan teologi gereja, dalam memahami dirinya sendiri dan dalam citranya yang ditampilkan kepada dunia.
Sejak awal, Gereja berperan di dua dunia yang berbeda, dunia orang Yahudi dan dunia bukan Yahudi. Kisah Para Rasul menggambarkan lambannya dan terkadang sakitnya perkembangan kekristenan di kalangan orang-orang bukan Yahudi. Petrus dan Stefanus mengadakan pekabaran Injil kepada orang-orang Yahudi, sedangkan Paulus kepada filsuf-filsuf Athena dan para penguasa Romawi.
Dalam banyak hal, kehidupan Yustinus mirip dengan kehidupan Paulus. Rasul ini adalah orang Yahudi yang lahir di daerah bukan Yahudi (Tarsus), sedangkan Yustinus adalah orang bukan Yahudi yang lahir di daerah Yahudi (Sikhem kuno). Keduanya terpelajar dan tangguh berargumentasi untuk meyakinkan orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi akan kebenaran Kristus. Keduanya mati syahid di Roma karena keyakinan mereka.
Pada pemerintahan para kaisar abad pertama, seperti Nero dan Domitianus, tujuan gereja hanya untuk dapat bertahan hidup dengan meneruskan tradisi mereka, yaitu menampilkan cinta kasih yang menyerupai kasih Kristus sendiri. Sedangkan bagi orang luar, kekristenan merupakan sekte primitif agama Yahudi dengan berbagai ajaran dan praktiknya yang aneh.
Menjelang pertengahan abad kedua, di bawah pemerintahan yang adil oleh para kaisar seperti Trajanus, Antoninus Pius dan Marcus Aurelius, gereja mulai membuka diri pada dunia luar untuk meyakinkan keberadaannya. Yustinus menjadi salah seorang apologist (orang yang mempertahankan pendiriannya dalam argumentasi) Kristen pertama, yang menjelaskan imannya sebagai sistem yang masuk akal. Bersama-sama penulis lain, seperti Origenes dan Tertullianus, ia menafsirkan kekristenan dalam istilah-istilah yang mudah dikenal orang-orang Yunani dan Romawi terpelajar pada masa itu.
Karya tulis Yustinus, The Apology, ditujukan pada Kaisar Antoninus Pius (dalam bahasa Yunani berjudul Apologia, yaitu suatu kata yang mengacu pada logika yang menjadi dasar kepercayaan seseorang). Ketika Yustinus menjelaskan dan mempertahankan keyakinannya, ia juga menyinggung bahwa penyiksaan yang dilakukan penguasa Romawi terhadap orang-orang Kristen adalah salah. Sebaliknya, mereka seharusnya bergabung dengan orang Kristen untuk mmnunjukkan kepalsuan sistem penyembahan dewa-dewa.
Bagi Yustinus, seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah. Para filsuf Yunani yang tersohor sedikit banyak telah diilhami Allah, namun mata mereka belum dibukakan bagi keutuhan kebenaran Kristus. Oleh karenanya, Yustinus menyitir pemikiran Yunani dengan bebas dan kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa kesempurnaan itulah Kristus. la mengutip prinsip Yohanes tentang Kristus sebagai Logos, Firman. Allah Bapa adalah kudus adanya dan terpisah dari manusia yang jahat — tentang hal ini Yustinus setuju dengan Plato. Namun melalui Kristus, Logos-Nya, Allah dapat berhubungan dengan manusia. Sebagai Logos Allah, Kristus adalah bagian dari hakikat Allah, meskipun terpisah, seperti api dinyalakan dari api juga (demikianlah pemikiran Yustinus telah menjadi alat bagi kesadaran akan Tritunggal dan Inkarnasi yang berkembang di Gereja.).
Meskipun Yustinus bersandar pada pemikiran Yunani, namun aliran pemikiran Yahudi ada padanya. Ia kagum pada nubuat yang digenapi. Mungkin ia terpengaruh orang tua yang ia temui di pantai. Tetapi ia pun melihat bahwa nubuat Ibrani telah meyakinkan identitas Yesus Kristus yang unik. Seperti Paulus, Yustinus tidak meninggalkan orang-orang Yahudi ketika ia berpaling kepada orang-orang Yunani. Dalam karya besar Yustinus lainnya, Dialog dengan Tryfo (Dialogues with Trypho), ia menulis kepada seorang Yahudi kenalannya, bahwa Kristus adalah penggenapan tradisi Ibrani.
Di samping menulis, Yustinus mengadakan perjalanan yang cukup jauh. Dalam perjalanannya ia selalu berargumentasi tentang iman yang diyakininya. Di Efesus, ia bertemu dengan Tryfo. Di Roma, ia bertemu Marcion, pemimpin Gnostik. Pada suatu perjalanannya ke Roma, ia pernah bersikap tidak ramah terhadap seseorang yang bernama Crescens, seorang Cynic. Ketika Yustinus kembali ke Roma pada tahun 165, Crescens mengadukannya kepada penguasa atas tuduhan memfitnah. Yustinus pun ditangkap, disiksa dan akhirnya dipenggal kepalanya bersama-sama enam orang percaya lainnya.
Ia pernah menulis, "Anda dapat membunuh kami, tetapi sesungguhnya tidak dapat mencelakakan kami." Keyakinan ini ia pegang sampai mati. Dengan demikian ia telah meraih nama yang disandangnya sepanjang masa: Yustinus Martir.
004) Tahun ±156 Kemartiran Polikarpus
Polikarpus
Keadaan sangat memanas. Polisi Smyrna sedang memburu Polikarpus, uskup yang disegani di kota itu. Para polisi itu sudah mengirim orang-orang Kristen lainnya untuk dibunuh di arena, kini mereka menghendaki sang pemimpin.
Polikarpus telah meninggalkan kota itu dan bersembunyi di sebuah ladang milik teman-temannya. Bila pasukan mulai menyergap, ia pun melarikan diri ke ladang lain. Meskipun hamba Tuhan ini tidak takut mati, dan memilih berdiam di kota, teman-temannya mendorongnya bersembunyi. Mungkin karena mereka takut kalau-kalau kematiannya akan mempengaruhi ketegaran gereja. Jika itu alasannya, maka mereka salah tafsir.
Ketika polisi mendatangi ladang pertama, mereka menyiksa seorang budak untuk mencari tahu tentang Polikarpus. Kemudian mereka menyerbu dengan senjata lengkap untuk menangkap uskup itu. Meskipun ada kesempatan lari, Polikarpus memilih tinggal di tempat, dengan tekad, "Kehendak Allah pasti terjadi." Di luar dugaan, ia menerima mereka seperti tamu, memberi mereka makan dan meminta izin selama satu jam untuk berdoa. Ia berdoa dua jam lamanya.
Beberapa penangkap merasa sedih menangkap orang tua yang hegitu baik. Dalam perjalanannya kembali ke Smyrna, kepala polisi yang memimpin pasukan itu berkata, "Apa salahnya menyebut 'Lord Caesar' (Tuhan Kaisar) dan mempersembahkan bakaran kemenyan?"
Dengan tenang Polikarpus mengatakan bahwa ia tidak akan melakukannya.
Para pejabat Romawi yakin bahwa roh kaisar, ilahi adanya. Bagi orang Romawi pada umumnya, dengan sejumlah dewa, menyembah kaisar bukanlah masalah. Mereka melihat hal itu sebagai loyalitas kebangsaan. Namun orangorang Kristen tahu bahwa itu adalah penyembahan berhala.
Karena orang-orang Kristen menolak menyembah kaisar dan dewa-dewa Romawi, tetapi memuja Kristus secara sembunyi-sembunyi di rumah masing-masing, mereka dianggap orang kafir. Orang-orang Smyrna memburu orang-orang Kristen dengan pekikan, "Enyahkan orang-orang kafir." Karena mereka tahu bahwa orang-orang Kristen tidak pernah berperan serta dalam berbagai perayaan mereka yang memuja bermacam-macam dewa dan karena tidak pernah mempersembahkan korban, maka mereka menyerang kelompok yang mereka anggap tidak patriotik serta tidak beragama ini.
Maka, Polikarpus pun masuk dalam arena yang penuh dengan kumpulan orang beringas. Tampaknya, gubernur Romawi di sana menghormati usia uskup tersebut. Seperti Pilatus,
tidak ingin dianggap keji, jika mungkin. Hanya jika Polikarpus mau melakukan persembahan korban, maka semuanya dapat pulang kembali dengan selamat.
"Hormatilah usiamu, Pak Tua," seru gubernur Romawi itu. "Bersumpahlah demi berkat Kaisar. Ubahlah pendirianmu serta berserulah, "Enyahkan orang-orang kafir!"
Sebenarnya, gubernur Romawi itu ingin Polikarpus menyelamatkan dirinya sendiri dengan melepaskan dirinya dari orang-orang Kristen yang dianggap "kafir" itu. Namun, Polikarpus hanya memandang kerumunan orang yang sedang mencemohkannya. Sambil mengisyaratkan ke arah mereka, ia berseru, "Enyahkan orang-orang kafir!"
Gubernur Romawi itu berusaha lagi: "Angkatlah sumpah dan saya akan membebaskanmu. Hujatlah Kristus!"
Uskup itu pun berdiri dengan tegar. Ia berkata, "Selama delapan puluh enam tahun aku telah mengabdi kepada-Nya dan Ia tidak pernah menyakitiku. Bagaimana aku dapat mencaci Raja yang telah menyelamatkanku?"
Menurut kisah, Polikarpus pernah menjadi murid Rasul Yohanes. Jika demikian, mungkin ialah orang terakhir yang berhubungan dengan gereja para rasul. Kira-kira empat puluh tahun sebelumnya, ketika Polikarpus memulai pelayanannya sebagai uskup, Bapa Gereja Ignatius telah menulis surat khusus untuknya. Polikarpus sendiri telah menulis suratnya untuk orang-orang Filipi. Meskipun surat tersebut tidak begitu cemerlang ataupun merupakan pendapatnya sendiri, namun mengandung unsur-unsur kebenaran yang ia pelajari dari para gurunya. Polikarpus tidak mengulas Perjanjian Lama, seperti orang-orang Kristen yang muncul kemudian, tetapi ia menyitir para rasul dan pemuka gereja lainnya untuk meyakinkan orang-orang Filipi.
Kira-kira satu tahun sebelum kemartirannya, Polikarpus berkunjung ke Roma untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tentang tanggal Hari Raya Paskah dengan uskup Roma. Ada cerita yang mengisahkan bahwa ia terlibat dalam perdebatan dengan Marcion, yang ia juluki "Anak sulung setan". Ajaran-ajaran para rasul yang ditampilkannya telah membuat beberapa pengikut Marcion bertobat.
Itulah peranan Polikarpus: saksi yang setia. Para pemimpin yang muncul kemudian hari mengadakan pendekatan-pendekatan kreatif untuk mengubah keadaan, namun pada zaman Polikarpus, yang dibutuhkan hanyalah kesetiaan. Ia setia sampai mati.
Di arena perdebatan, pertukaran pendapat antara sang uskup dan gubernur Romawi berlanjut. Pada suatu saat, Polikarpus menghardik lawan bicaranya: "Jika kamu... berpura-pura tidak mengenal saya, dengarlah baik-baik: Saya adalah seorang Kristen. Jika Anda ingin mengetahui ajaran Kristen, luangkanlah satu hari khusus untuk mendengarkan saya."
Gubernur Romawi itu pun mengancam akan melemparkan dia ke binatang-binatang buas. "Panggil binatang-binatang itu!" seru Polikarpus. "Jika hal itu akan mengubah keadaan buruk menjadi baik, tetapi bukan keadaan yang lebih baik menjadi lebih buruk."
Ketika ia diancam akan dibakar, Polikarpus menjawab, "Apimu akan membakar hanya satu jam lamanya, kemudian akan padam, namun api penghakiman yang akan datang adalah abadi."
Akhirnya Polikarpus dinyatakan sebagai orang yang tidak akan menarik kembali pernyataan-pernyataannya. Rakyat Smyrna pun berteriak: "Inilah guru dari Asia, bapa orang-orang Kristen, pemusnah dewa-dewa kita, yang mengajar orang-orang untuk tidak menyembah (dewa-dewa) dan mempersembahkan korban sembelihan."
Gubernur Romawi menitahkan agar ia dibakar hidup-hidup. la diikat pada sebuah tiang dan dibakar. Namun, menurut seorang saksi mata, badannya tidak termakan api. "la berada di tengah, tidak seperti daging yang terbakar, tetapi seperti roti di tempat pemanggangan, atau seperti emas atau perak dimurnikan di atas tungku perapian. Kami mencium aroma yang harus, seperti wangi kemenyan atau rempah mahal." Ketika seorang algojo menikamnya, darah yang mengalir memadamkan api itu.
Kisah ini tersebar ke jemaat-jemaat di seluruh kekaisaran. Gereja menyimpan laporan-laporan semacam itu dan mulai memperingati hari-hari kelahiran serta kematian para martir. Bahkan mereka juga mengumpulkan tulang-tulangnya serta peninggalan lainnya. Setiap tanggal 23 Februari, diperingati hari "kelahiran Polikarpus" masuk ke surga.
Dalam kurun waktu satu setengah abad berikutnya, ratusan martir menuju kematian mereka dengan setia, dan banyak di antara mereka maju dengan semangat. Ini didasarkan pada laporan saksi mata uskup Smyrna itu.
Sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html#5512
005) Tahun 177 Irenaeus Menjadi Uskup Lyons
"Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari" bunyi Pengkhotbah 1:9. Namun ajaran-ajaran sesat yang bermunculan di dalam dan di sekitar gereja tetap saja berjalan.
Bukannya berpaling pada karya penebusan Kristus, banyak yang mencari ilmu mistik bagi keselamatan pribadi. Dalam gereja abad-abad permulaan, paham ini muncul dalam sekelompok pengikut yang menamakan dirinya Gnostik (gnosis dalam bahasa Yunani artinya "pengetahuan" ).
Sebelum Gereja didirikan, aliran semacam Gnostisisme memang sudah pernah ada. Ketika Yohanes menulis suratnya yang pertama, ia mengecam ajaran sesat ini. Namun, ajaran tersebut masih berlanjut pada abad kedua.
Kita tidak banyak mengenal Irenaeus, seorang penentang Gnostisisme pada akhir abad kedua. Mungkin ia dilahirkan di Asia Kecil lebih kurang pada tahun 125. Perdagangan yang lancar antara Asia Kecil dan Gaul (Perancis) memberi peluang bagi orang-orang Kristen untuk membawa agamanya ke Perancis, tempat mereka mendirikan sebuah gereja yang tangguh di kota Lyons.
Sebagai imam di Lyons, Irenaeus hidup sesuai namanya, yang artinya 'damai', dengan berkunjung ke Roma untuk meminta kepada uskup kelonggaran bagi kaum Montanis di Asia Kecil. Ketika itulah pembantaian orang-orang Kristen sedang marak di Lyons, dan dalam peristiwa ini uskup Lyons terbunuh.
Irenaeus diangkat menjadi uskup untuk menggantikan uskup yang terbunuh. Ketika itu terdapat banyak orang yang telah menganut Gnostisisme di Perancis. Penyebaran aliran ini sangat pesat karena kaum Gnostis menggunakan istilah orang-orang Kristen — meskipun mereka memberikan interpretasi yang berbeda secara radikal. Penyerapan istilah-istilah Kristen dengan berbagai konsep dari filsafat Yunani dan agama orang-orang Asia, sangat menggiurkan orang-orang yang "mau" percaya bahwa mereka dapat memperoleh keselamatan tanpa bergantung pada anugerah Bapa Yang Mahakuasa.
Irenaeus pun mempelajari bentuk-bentuk ajaran Gnostik. Meskipun sangat berbeda, secara umum mereka mengajarkan bahwa dunia fana ini jahat; bahwa dunia ini diciptakan dan diperintah oleh kuasa malaikat, bukan Tuhan; bahwa Tuhan berada jauh dan tidak ada hubungannya dengan dunia ini; bahwa keselamatan dapat diraih dengan mempelajari ajaran-ajaran rahasia khusus; bahwa kaum Gnostik itulah orang-orang rohani (pneumatikoi) yang lebih unggul daripada orang-orang Kristen (psychikoi) biasa. Para guru aliran Gnostik sangat mendukung pendapat ini dengan Injil Gnostiknya – buku yang biasanya membawa-bawa nama para rasul dan menggambarkan Yesus yang mengajarkan doktrin-doktrin Gnostik.
Setelah uskup Lyons itu mempelajari ajaran sesat itu, ia menulis Against Heresies, suatu karya besar yang membeberkan kebodohan "ajaran yang secara keliru disebut Gnostik". Dengan menyitir gambaran dari Perjanjian Lama dan Baru, ia membuktikan bahwa dunia diciptakan Allah yang penuh cinta kasih, yang kemudian ternoda oleh dosa-dosa manusia. Adam, manusia pertama yang tak berdosa, menjadi orang yang berdosa karena menyerah pada godaan. Tetapi kejatuhannya telah ditanggulangi oleh karya manusia tak berdosa yang kedua, yaitu Kristus, Adam baru. Tubuh tidaklah jahat. Pada hari penghakiman, tubuh dan jiwa orang-orang percaya akan diangkat, mereka akan tinggal bersama-sama Allah untuk selamanya.
Irenaeus paham bahwa ajaran Gnostik memikat kecenderungan manusiawi yang ingin mengetahui hal-hal yang belum diketahui orang lain. Tentang orang-orang Gnostik ia menulis, "Segera setelah seseorang dimenangkan, orang tersebut menjadi sombong dan merasa dirinya begitu penting, ia pun berjalan mengangkat dada dengan gaya seekor ayam jantan." Tetapi orang-orang Kristen seharusnya menerima anugerah Allah dengan rendah hati, dan tidak mengandalkan kegiatan-kegiatan intelektualnya yang akan membuat ia sombong.
Sepanjang hidupnya, Irenaeus dengan gembira mengenang perkenalannya dengan Polikarpus, yang pernah akrab dengan Rasul Yohanes. Jadi, tidaklah mengherankan bahwa ia berpegang pada keabsahan para rasul ketika ia menolak paham Gnostik. Sang uskup menegaskan bahwa para rasul mengajar di tempat-tempat umum dan tidak ada satu pun yang dirahasiakan. Di seluruh kekaisaran, Gereja-gereja berpegang pada ajaran-ajaran yang hanya disampaikan para rasul Kristus, dan hanya inilah satu-satunya dasar keyakinan. Irenaeus menyatakan bahwa para uskup yang merupakan pelindung iman
(Kristen) adalah penerus para rasul. Dengan demikian, ia telah mengangkat martabat para uskup. Dalam bukunya Against Heresies, Irenaeus menetapkan standar bagi teologi gereja. Semua kebenaran yang kita butuhkan sudah tercantum dalam Alkitab. Ia juga membuktikan bahwa dirinya adalah seorang teolog terbesar semenjak Rasul Paulus. Argumentasinya yang tersebar luas merupakan pukulan besar bagi aliran Gnostik pada masanya.
Suumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html#5512
006) Tahun ±196 Tertullianus Mulai Menulis Buku-buku Kristen
Lukisan Tertullianus
"Darah para martir menjadi benih gereja."
"Hal itu pasti karena tidak mungkin."
"Apa urusan orang-orang Athena dengan Yerusalem?"
Kata-kata kiasan yang tajam seperti ini adalah ciri khas karya Quintus Septimius Florens Tertullianus – atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tertullianus. Ia lahir di Kartago, dibesarkan dalam keluarga berkebudayaan kafir serta terlatih dalam kesusasteraan klasik, penulisan orasi, dan hukum. Pada tahun 196 ketika ia mengalihkan kemampuan intelektualnya pada pokok-pokok Kristen, ia mengubah pola pikir dan kesusasteraan Gereja di wilayah Barat.
Sebelumnya, para penulis Kristen umumnya menggunakan bahasa Yunani – bahasa yang agak fleksibel dan halus, yang cocok digunakan untuk berfilsafat dan berdebat tentang hal-hal sederhana. Acap kali, orang-orang Kristen yang berbahasa Yunani menggunakan cara berfilsafat seperti ini terhadap keyakinan mereka.
Meskipun Tertullianus, pengacara kelahiran Afrika itu, dapat berbahasa Yunani, ia memilih menulis dalam bahasa Latin, dan karya-karyanya mencerminkan unsur-unsur moral dan praktis orang Romawi yang berbahasa Latin. Pengacara yang berpengaruh ini telah menarik banyak penulis untuk mengikuti gayanya.
Ketika orang-orang Kristen Yunani masih bertengkar tentang keilahian Kristus serta hubungan-Nya dengan Bapa, Tertullianus sudah berupaya menyatukan kepercayaan itu dan menjelaskan posisi ortodoks. Maka, ia pun merintis formula yang sampai hari ini masih kita pegang: Allah adalah satu hakikat yang terdiri dari tiga pribadi.
Ketika dia menyiapkan apa yang menjadi doktrin Trinitas, Tertullianus tidak mengambil terminologinya dari para filsuf, tetapi dari Pengadilan Roma. Kata Latin substantia bukan berarti "bahan" tetapi "hak milik". Arti kata persona bukanlah "pribadi" (person), seperti yang lazim kita gunakan, tetapi merupakan suatu pihak dalam suatu perkara (di pengadilan). Dengan demikian, jelaslah bahwa tiga personae dapat berbagi satu substantia. Tiga pribadi (Bapa, Putra dan Roh Kudus) dapat berbagi satu hakikat (kedaulatan ilahi).
Meskipun Tertullianus mempersoalkan "Apa urusan Athena (filsafat) dengan Yerusalem (gereja)?" namun, filsafat Stoa yang populer pada masa itu turut mempengaruhinya. Ada yang berkata bahwa ide dosa asal bermula dari Stoisisme, kemudian diambil alih Tertullianus dan selanjutnya merambat ke Gereja Barat. Agaknya ia berpendapat bahwa roh (jiwa) itu adalah sebentuk benda: seperti tubuh dibentuk ketika pembuahan, maka roh pun demikian. Dosa Adam diwariskan seperti rangkaian genetik.
Gereja-gereja Barat menyimak ide ini, tetapi ide ini tidak dialihkan ke Timur (yang mempunyai pandangan yang lebih optimistik tentang sifat manusia).
Kira-kira pada tahun 206, Tertullianus meninggalkan Gereja untuk bergabung dengan sekte Montanis, sekelompok orang puritan yang bereaksi melawan apa yang mereka anggap sebagai kelonggaran moral di antara orang-orang Kristen. Mereka berharap kedatangan Kristus kedua kali itu segera terjadi. Mereka juga menekankan kepemimpinan Roh Kudus secara langsung, bukan kepemimpinan para rohaniwan yang ditahbiskan.
Meskipun Tertullianus pernah menekankan ide suksesi para rasul – pengalihan kuasa dan wibawa para rasul kepada para uskup – namun ia tidak dapat menerima bahwa para uskup memiliki kuasa mengampuni dosa. Ia berpendapat bahwa ini akan menjurus pada terpuruknya moral. Sementara itu para uskup terlampau yakin akan kuasa tersebut. Bukankah semua orang percaya adalah imam? Apakah ini Gereja para orang kudus yang dikelola mereka sendiri, ataukah sekumpulan orang kudus dan orang-orang berdosa yang dikelola "kelas" profesional yang dikenal sebagai rohaniwan?
Tertullianus sebenarnya berenang melawan arus. Selama lebih kurang dua belas abad kaum rohaniwan mendapat tempat khusus. Ketika Martin Luther menantang gereja, maka penekanan pada 'imamat semua orang percaya' kembali terangkat.
Sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html#5512
007) Tahun ±205 Origenes Mulai Menulis
Profil di dinding : Gambar Origenes bersama muridnya
Pada awalnya, kekristenan dicemooh sebagai agama orang-orang miskin dan tidak terpelajar, dan memang sesungguhnya banyak penganutnya datang dari kalangan rendah. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Rasul Paulus, bahwa di gereja "untuk ukuran manusia, tidak banyak orang bijak, tidak banyak orang berpengaruh, tidak banyak orang terpandang" (1 Kor. 1:26).
Namun menjelang abad ketiga, cendekiawan terhebat pada masa itu adalah seorang Kristen. Baik kafir, penganut ajaran sesat maupun orang Kristen, semuanya mengagumi Origenes. Ia mempunyai pengetahuan luas dan ilmu yang tinggi, yang berpengaruh penting bagi pemikiran Kristen di kemudian hari.
Origenes lahir di Alexandria pada tahun 185. Ia berasal dari keluarga Kristen yang saleh.
Kira-kira pada tahun 201, ayahnya - Leonidas - dipenjarakan dalam satu gelombang penyiksaan oleh Septimus Severus. Origenes pun menulis surat kepada ayahnya di penjara agar tidak memungkiri Kristus demi keluarganya. Meskipun Origenes ingin menyerahkan diri kepada penguasa agar dapat menjadi martir bersama-sama dengan ayahnya, namun ibunya mencegahnya dengan menyembunyikan pakaiannya.
Setelah Leonidas mati sebagai martir, hartanya disita, dan jandanya terlantar dengan tujuh orang anak. Origenes pun mulai menanggulangi keadaan dengan bekerja sebagai guru sastra Yunani dan penyalin naskah. Karena hanyak di antara cendekiawan senior telah meninggalkan Alexandria dalam gelombang penyiksaan, maka sekolah kateketik Kristen sangat membutuhkan tenaga pengajar. Pada usianya yang kedelapan belas, Origenes pun memangku jabatan kepala sekolah tersebut dan memulai karir mengajarnya yang panjang, termasuk belajar dan menulis.
la menjalani kehidupan asketis, menghabiskan waktunya pada malam hari dengan belajar dan berdoa, serta tidur di lantai tanpa alas. Mengikuti titah Yesus, ia memiliki hanya satu jubah dan tidak mempunyai alas kaki. Ia bahkan mengikuti Matius 19:12 secara harfiah; mengebiri dirinya untuk mencegah godaan jasmani. Origenes berhasrat setia pada gereja dan membawa kehormatan bagi nama Kristus.
Sebagai seorang penulis yang sangat produktif Origenes dapat membuat tujuh sekretarisnya sibuk dengan dikteannya. Ia telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya, termasuk tafsiran-tafsiran atas setiap buku dalam Alkitab serta ratusan khotbah.
Karyanya Hexapla merupakan prestasi dalam bidang kritik teks. Di dalamnya, ia mencoba menemukan terjemahan Yunani yang terbaik bagi Perjanjian Lama, dan dalam enam kolom sejajar ia membentangkan Perjanjian Lama Ibrani, sebuah transliterasi Yunani, tiga terjemahan Yunani dan Septuaginta. Against Celsus adalah karya besar yang merupakan pertahanan bagi kekristenan terhadap serangan kafir. On First Principles merupakan upaya pertamanya dalam teologi sistematis; di sini Origenes dengan saksama meneliti keyakinan Kristen tentang Allah, Kristus, Roh Kudus, Penciptaan, jiwa, kemauan bebas, keselamatan dan Kitab Suci.
Origenes bertanggung jawab atas peletakan dasar-dasar penafsiran alegoris terhadap Kitab Suci yang berpengaruh pada Abad-abad Pertengahan. Pada setiap teks, ia percaya ada tiga tingkat pengertian: pengertian harfiah, pengertian moral, yaitu untuk memperbaiki jiwa, dan pengertian alegoris atau pengertian rohani, yakni pengertian tersirat yang penting untuk iman Kristen. Origenes sendiri mengabaikan makna harfiah atau gramatikal-historis teks dan lebih menekankan makna alegoris.
Origenes berupaya menghubungkan kekristenan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat pada masanya. Ia percaya bahwa filsafat Yunani merupakan persiapan untuk memahami Kitab Suci, dan secara analogi, yang kemudian dianut Augustinus, bahwa khazanah pengetahuan orang kafir digunakan oleh orang Kristen, seperti orang Israel "merampasi orang Mesir itu" (Kel. 12:35-36).
Dalam mempelajari filsafat Yunani, Origenes telah mengambil banyak gagasan Plato yang sangat asing dengan kekristenan Ortodoks. Dari kesalahan-kesalahannya, yang paling mencolok adalah paham Yunani bahwa benda dan dunia ini jahat. Ia percaya akan eksistensi roh sebelum lahir dan mengajarkan bahwa keberadaan manusia di atas bumi ini ditentukan oleh perilakunya ketika dalam keadaan praeksistensi (sebelum lahir). Ia menolak paham kebangkitan daging dan mempertimbangkan gagasannya bahwa akhirnya Allah akan menyediakan keselamatan bagi semua manusia dan malaikat. Karena Allah tidak mungkin menciptakan bumi ini tanpa berhubungan langsung dengan zat awal, maka Sang Bapa memperanakkan Putra-Nya untuk menciptakan bumi yang abadi ini. Ketika Sang Putra mati di kayu salib, maka itu hanya kemanusiaan Yesus yang mati sebagai tebusan bagi iblis atas kejahatan dunia.
Karena kesalahan-kesalahan semacam ini, maka Uskup Demetrius dari Alexandria mengadakan sidang yang mengekskomunikasi Origenes dari Gereja. Meskipun Gereja Roma dan Barat menerima ekskomunikasi ini, namun Gereja di Palestina dan sebagian besar Gereja Timur tidak menerimanya. Mereka masih mencari Origenes karena pengetahuan, kebijaksanaan dan kecendekiawanannya.
Dalam gelombang penyiksaan pada masa Decius, Origenes dipenjarakan, disiksa dan diputuskan untuk dihukum mati pada tiang. Tetapi hukurnan itu tidak terlaksana karena kaisar telah meninggal dunia. Karena penderitaan (batin) inilah Origenes jatuh sakit, kemudian meninggal sekitar tahun 251. la telah berbuat banyak, lebih daripada yang orang lain pernah lakukan untuk meningkatkan pemikiran Kristen dan rnembuat Gereja dihormati di mata dunia. Di kemudian hari, Bapa Gereja di Barat maupun di Timur merasakan pengaruhnya. Keanekaragaman pikiran dan tulisannya telah membawa reputasi baginya sebagai bapa ortodoksi dan bapa ajaran sesat
Sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html#5512
008 ) Tahun 251 Cyprianus Menulis On the Unity of the Church
Saint Cyprian (Thascius Caecilius Cyprianus)
Hubungan apa yang terjalin antara warga Gereja dan pemimpinnya? Dengan jalan apa Gereja dapat mendisiplinkan warganya? Hal-hal inilah yang harus digumuli gereja pada zaman apa pun.
Pada pertengahan abad ketiga, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas dikemukakan oleh Cyprianus, seorang kaya dan berbudaya, yang lahir, sekitar tahun 200 dalam keluarga kafir. Ketika ia menjadi Kristen, ia menanggalkan pola hidup lamanya, membagi-bagikan uang dan hartanya kepada orang miskin, serta bersumpah akan hidup suci. Tentang perubahan ini ia menulis: "Kelahiran kedua ini telah menciptakan manusia baru dalam diri saya, dengan hembusan Roh dari surga."
Sebagai seorang mantan guru retorika dan orator terkenal, Cyprianus yang fasih berbicara dan saleh ini menanjak melalui jenjang karir di Gereja sampai menjadi Uskup Kartago sekitar tahun 248.
Meskipun ia terlatih dalam sastra Yunani dan Romawi klasik, Cyprianus bukanlah seorang teolog. Tidak seperti Tertullianus, orang yang dia kagumi, Cyprianus adalah orang pragmatic, yang tidak menghiraukan pertengkaran tentang teologi pada masanya. Yang diinginkannya hanyalah persatuan di gereja. Di gereja yang tidak ada kesatuan, ia mencoba menyatukan orang-orang Kristen melalui kuasa para uskup.
Kaisar Romawi, Decius, telah menganiaya orang-orang Kristen dan menyebabkan beberapa orang menyangkal iman mereka. Decius tidak berniat menjadikan mereka martir, karena hal itu akan menarik perhatian yang lebih besar bagi kekristenan. Tetapi, ia menyiksa orang-orang Kristen dengan harapan mereka akan mengakui bahwa "Kaisarlah Tuhan". Mereka yang berbuat demikian dikenal sebagai orang-orang yang telah "murtad".
Orang-orang Kristen yang bertahan, yang disebut 'pengikut setia' itu seringkali memandang rendah orang-orang murtad tersebut. Maka sebuah konsili para uskup dibentuk untuk membuat peraturan-peraturan ketat dalam hal penerimaan kembali para orang murtad tersebut. Akibat ketatnya peraturan ini, seorang imam bernama Novatus memulai sebuah gereja saingan yang memberi kesempatan bagi orang-oring murtad itu menjadi anggotanya.
Meskipun Cyprianus tidak mengalami penyiksaan karena imannya, ia tidak setuju dengan perpisahan ini. Ia yakin bahwa orang percaya sejati harus menjalani hukuman untuk menebus dosa, untuk membuktikan imannya.
Hukuman untuk penebusan dosa itu terdiri dari penyesalan selama suatu masa tertentu dan setelah itu, orang tersebut dapat diterima kernbali dalam Perjamuan Kudus. Begitu ia menyelesaikan "masa penyesalannya", ia akan tampil di hadapan jemaat dengan berpakaian goni serta melumuri badan dengan abu, dan di situlah sang uskup akan menyatakan pengampunan baginya. Cyprianus merumuskan ini sebagai sistem berskala — semakin besar dosanya, maka semakin lama pula masa penyesalannya. Idenya mendapat sambutan dan menjadi disiplin Gereja paling kuat — yang terkadang disalahgunakan.
Pada tahun 251 Cyprianus mengadakan konsili di Kartago dan di situlah ia membacakan On the Unity of the Church (Persatuan di dalam Gereja), karyanya yang terkenal dan yang sangat berpengaruh dalam sejarah gereja. Gereja, katanya, adalah lembaga ilahi, yaitu mempelai Kristus, dan hanya ada satu mempelai. Hanya di dalam gereja manusia akan mendapatkan keselamatan, di luar itu yang ada hanyalah kegelapan dan kebingungan. Di luar Gereja, sakramen dan para rohaniwan — bahkan Alkitab — tidak ada artinya. Seseorang, secara pribadi, tidak dapat menjalankan kehidupan Kristen melalui kontak langsung dengan Allah; ia membutuhkan Gereja. Karena Kristus mendirikan Gereja di atas Petrus, si Batu Karang, Cyprianus berkata bahwa semua uskup dalam arti tertentu adalah penerus Petrus — dan oleh karenanya harus dipatuhi. Meskipun ia tidak menyatakan bahwa uskup Roma berada di atas para uskup lainnya, namun Cyprianus memandang keuskupan itu sebagai sesuatu yang khusus karena hubungan Petrus dengan kota tersebut.
Pernyataan-pernyataan Cyprianus seperti "di luar gereja tidak ada keselamatan" dan "seseorang tidak dapat mengatakan Allah sebagai Bapanya tanpa mengakui Gereja sebagai ibunya", telah mendorong orang-orang memberi tempat yang amat panting bagi para uskup. Seorang uskup dapat menentukan keanggotaan gereja. Akibatnya, ia berkuasa mengatakan "engkau telah diselamatkan", "engkau belum diselamatkan". Bukannya meyakini bahwa Roh (Kudus) bekerja melalui gereja, Cyprianus justru mengisyaratkan bahwa Roh (Kudus) bekerja melalui para uskup.
Dengan diterimanya ide ini, tentu saja, para uskup mendapat kuasa lebih besar. Cyprianus juga mencetuskan ide bahwa misa adalah pengorbanan tubuh dan darah Kristus. Karena para imam menjalankan fungsinya dalam ibadah atas nama Kristus, maka hal ini pun meningkatkan kuasa mereka.
Cyprianus meninggal karena penyiksaan Kaisar Valerianus. Karena ia menolak melakukan persembahan korban bagi dewa-dewa kafir, maka kepala Uskup Kartago itu dipenggal pada tahun 258.
Karena terancam perpecahan, Gereja pada masa Cyprianus berpegang pada ide-idenya. Uskup tersebut tentunya tidak menduga akibat dari cara-cara yang dirintisnya untuk mempersatukan gereja. Pada Abad Pertengahan, beberapa uskup yang rakus dan tidak bermoral menggunakan kuasanya untuk kepentingan pribadi, ketimbang untuk hal-hal rohani. Struktur hierarki yang menciptakan "persatuan" juga telah menyebabkan keretakan di antara rohaniwan dan kaum awam.
Sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html#5512
009) Tahun 270 Antonius Memulai Hidupnya sebagai Pertapa
Salah seorang pendiri terpenting komunitas biara sebenarnya tidak punya ide untuk mendirikan apa pun. Ia hanya peduli pada kondisi spiritualnya sendiri dan menghabiskan sebagian besar waktunya seorang diri.
Antonius lahir di Mesir sekitar tahun 250, dalam keluarga kaya. Ketika ia berumur dua puluh tahun, orang tuanya wafat, meninggalkan seluruh harta untuknya. Sebuah teks khotbah yang merupakan perintah Yesus kepada pengusaha muda yang kaya, "Jika ingin memperoleh hidup yang kekal, pergi dan juallah segala yang kau miliki ...", telah mengubah hidup anak muda ini. Kata-kata tersebut seolah-olah ditujukan kepadanya, dan Antonius pun mengartikannya secara harfiah. Ia membagikan tanah miliknya kepada orang-orang sekampung, menjual harta lainnya dan menyumbangkan uangnya kepada orang-orang miskin. Ia berguru pada seorang Kristen yang sudah berumur, dan belajar tentang sukacita penyangkalan diri. Antonius makan hanya satu kali sehari, yang terdiri dari roti dan air, serta tidur di atas lantai tidak beralas.
Dengan pertobatan Kaisar Konstantinus pada tahun 312, situasi gereja berubah drastis. Kedudukan orang Kristen tidak lagi sebagai kaum minoritas yang buronan, tetapi telah menjadi penganut suatu agama yang terhormat dengan dukungan resmi. Karena besarnya jumlah orang yang masuk gereja, maka tidak mudah lagi untuk mengenal orang-orang yang benar-benar memiliki komitmen pada Kristus dengan mereka yang datang hanya untuk dikenal sebagai bagian dari agama yang populer ini. Mudah percaya, namun belum tentu setia dalam penderitaan.
Orang-orang Kristen sejati pada zaman ini lebih memilih melawan (arus) daripada mengkompromikan keyakinan mereka, dengan meninggalkan (kehidupan) duniawi. Maka Antonius pun memilih sebuah kuburan sebagai tempat tinggalnya. Menurut penulis biografinya, Athanasius, Antonius selama lebih kurang dua belas tahun "ditawan" setan-setan yang mengambil bentuk bermacam-macam binatang buas dan terkadang menyerang dia serta meninggalkannya dalam keadaan hampir mati. Mereka mencoba menggoba Antonius untuk masuk ke dalam dunia maksiat, tetapi Antonius selalu menang.
Untuk lebih menjauhkan diri dari dunia ini, Antonius pindah ke sebuah benteng yang telah ditinggalkan. Di sana ia tinggal selama dua puluh tahun tanpa menemui seorang manusia pun. Makanan untuknya dilemparkan melalui tembok. Namun orang-orang telah mendengar penyangkalan dirinya dan pergumulannya dengan setan. Beberapa pengagumnya mendirikan pondok-pondok sementara dekat benteng tersebut, dan ia pun dengan rasa segan menjadi penasihat spiritual mereka dengan memberikan petunjuk dalam hal berpuasa, berdoa dan kegiatan-kegiatan amal. Antonius, dengan sendirinya telah menjadi panutan dalam penyangkalan diri.
Pertapa ini tidak pernah dapat melepaskan dirinya secara penuh dari dunia. Pada tahun 311, Maximianus, salah seorang kaisar kafir terakhir, menganiaya orang-orang Kristen, dan Antonius pun meninggalkan kediamannya untuk mati bagi keyakinannya. Tetapi ia akhirnya malah melayani orang-orang Kristen terhukum yang dipekerjakan di tambang-tambang kekaisaran. Pengalaman ini meyakinkannya bahwa hidup secara Kristen pun sama salehnya dengan mati untuknya (agama Kristen). Sekali lagi, pada tahun 350, ia meninggalkan kediamannya untuk membela ortodoksi melawan ajaran sesat Arius, yang dipicu Konsili Nicea (325). Orang-orang, termasuk Kaisar Konstantinus meminta nasihat spiritual dari sang pertapa ini.
Antonius wafat pada usia 105 tahun dan sampai pada akhir hayatnya, ia berada dalam keadaan sehat pikiran dan jasmani. Untuk mencegah berkembangnya pemujaan di kuburannya, ia meminta agar ia dikubur secara diam-diam.
Namun, pemujaan yang ditakutkannya tetap berkembang. Athanasius – teolog berpengaruh yang peranannya penting dalam Konsili Nicea telah menulis buku "Kehidupan Antonius" (Life of Anthony) yang sangat populer. Di dalamnya ia menggambarkan Antonius sebagai seorang rahib ideal, yang dapat melakukan keajaiban dan yang dapat mengenal roh jahat serta roh baik. Tidak lama kemudian, kisah seorang pahlawan spiritual yang telah menjadi rahib dan telah menyangkali dirinya pun mulai mempengaruhi Gereja.
Praktik komunitas rahib yang hidup bersama telah dirintis Pachomius, seorang teman Antonius. Seperti Antonius yang kuat dan ulet, sebagian besar pengikutnya memilih menjadi rahib. Antonius telah menyampaikan ide bahwa pribadi religius yang sejati akan mengundurkan diri dari kehidupan dunia dengan menjauhkan diri dari hidup berkeluarga dan kenikmatan duniawi.
Hingga era Reformasi, ide ini tidak pernah mendapat tantangan serius.
Sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html#5512
010) Tahun 312 Pertobatan Konstantinus
Patung Kaisar Konstantinus
Ketika itu bulan Oktober tahun 312. Seorang jenderal muda yang dipatuhi prajurit Roma yang ada di Inggris dan Perancis, berderap menuju Roma untuk menantang Maxentius, yang juga berupaya untuk naik takhta.
Seperti dikisahkan, Jenderal Konstantinus menatap ke langit dan melihat cahaya berbentuk salib. Di situ terdapat tulisan yang berbunyi "Bersama ini taklukkanlah". Prajurit yang percaya takhayul ini sebenarnya sudah enggan memuja dewa-dewa Roma dan memilih memuja dewa tunggal. Ayahnya adalah pemuja dewa matahari. Mungkinkah ini merupakan pertanda dari dewa tersebut pada malam sebelum pertempuran itu?
Di kemudian hari, Kristus muncul dalam mimpinya, dengan tanda yang sama, sebuah salib yang agak lekung di atasnya yang menyerupai huruf-huruf Yunani chi dan rho, dua huruf pertama dari kata Christos. Jenderal tersebut diperintahkan untuk membuat tanda ini pada perisai-perisai para prajuritnya. Ia melakukannya.
Seperti yang dijanjikan, Konstantinus pun memenangkan pertempuran tersebut.
Ini adalah salah satu momentum menentukan bagi perubahan dahsyat dalam kurun waktu seperempat abad. Jika Anda meninggalkan Roma pada tahun 305 M., tinggal di padang pasir, dan dua puluh tahun kemudian Anda kembali, Anda akan mengira bahwa kekristenan telah punah karena penganiayaan. Tetapi ternyata sebaliknya, kekristenan telah menjadi agama yang sangat digemari.
Ketika Diocletianus, salah seorang dari para kaisar yang amat brilian, mengambil tampuk kekuasaan pada tahun 284, ia mulai menata kembali pengaturan kemiliteran, ekonomi dan kepamongprajaan secara besar-besaran. Untuk sementara waktu ia tidak menyinggung orang-orang Kristen.
Salah satu ide Diocletianus yang dahsyat ialah rnenata ulang struktur kekuasaan kekaisaran. Ia membagi wilayah kekaisaran Roma dalam dua wilayah yaitu Timur dan Barat, dan setiap wilayah berada di bawah kekuasaan seorang kaisar serta seorang wakil kaisar. Setiap kaisar akan berkuasa selama dua puluh tahun, kemudian para kaisar yang akan mengambil-alih selama dua puluh tahun, dan seterusnya. Pada tahun 286, Diocletianus mengangkat Maximianus sebagai kaisar wilayah Barat, sedang ia sendiri memerintah wilayah Timur. Para kaisarnya ialah Konstantius Khlorus (ayah Konstantinus) di Barat dan Galerius di Timur.
Galerius sangat anti-Kristen (menurut laporan, ia melempar kesalahan akan kekalahannya pada suatu pertempuran karena seorang prajurit Kristen membuat tanda salib). Mungkin karena hasutan Galerius juga, maka kaisar wilayah Timur mengambil sikap anti-Kristen. Itu semua merupakan bagian dari penataan ulang kekaisaran sehingga Roma mempunyai mata uang yang seragam, sistem politik yang seragam dan harus mempunyai agama yang seragam pula. Untuk itu, orang-orang Kristen merupakan penghalang.
Mulai tahun 298, orang-orang Kristen diberhentikan dari kemiliteran dan jabatan-jabatan pamong praja. Pada tahun 303, pembantaian besar pun dimulai. Para penguasa merencanakan untuk mulai dengan pembantaian orang-orang Kristen pada Hari Raya Terminalia, tanggal 23 Februari. Gereja-gereja dihancurkan, Alkitab dirampas dan kebaktian dilarang. Pada awalnya tidak ada pertumpahan darah, namun Galerius segera mengubah keadaan. Sesuai jadwal, ketika Diocletianus dan Maximianus turun takhta pada tahun 305, Galerius mengadakan pembantaian yang lebih ganas. Konstantius, yang memerintah wilayah Barat, umumnya lunak. Tetapi cerita-cerita yang mengerikan dari Timur amat banyak. Pembantaian tersebut berlanjut sampai tahun 310, dan banyak orang Kristen menjadi martir pada peristiwa tersebut.
Namun, Galerius tidak berhasil menghancurkan Gereja. Anehnya, dalam keadaan sekarat ia berubah pikiran. Pada tanggal 30 April 311, Galerius yang ganas itu menyerah. Ia berhenti memerangi orang-orang Kristen dengan mengeluarkan Edik/Maklumat Kebebasan Beragama (Edict of Toleration). Sebagai seorang politisi, ia menekankan bahwa ia telah berbuat segala sesuatu untuk kekaisaran, namun, "sejumlah besar" orang Kristen ketika itu tetap "berpegang pada tekad mereka". Maka, sekarang sudah waktunya memberi mereka kebebasan berkumpul, selama mereka melakukannya dengan tertib. Selanjutnya ia menyerukan juga bahwa adalah "kewajiban mereka untuk berdoa kepada dewa mereka untuk kebaikan negara kita". Roma membutuhkan semua bentuk pertolongan yang memungkinkan. Galerius wafat enam hari kemudian.
Namun, skema Diocletianus menjadi berantakan. Setelah Konstantius wafat tahun 306, putranya, Konstantinus dinyatakan sebagai penguasa oleh para prajurit yang setia kepadanya. Tetapi, Maximianus yang sudah pensiun berupaya kembali dan memerintah lagi wilayah Barat bersama-sama dengan putranya, Maxentius (yang akhirnya melucuti kekuasaan ayahnya sendiri). Sementara itu, Galerius telah menunjuk Licinius, jenderal kesayangannya, sebagai penguasa wilayah Barat.. Masing-masing calon penguasa ini menuntut hak atas sebagian wilayah Barat ini. Mereka harus berperang untuk itu. Dengan cerdik, Konstantinus bergabung dengan Licinius dan bertempur melawan Maxentius. Pada pertempuran Milvian Bridge, Konstantinus menang.
Di sana, Konstantinus dan Licinius menunjukkan kekuatan berimbang. Konstantinus sangat berhasrat mengucapkan syukur pada Kristus, oleh karenanya ia tergerak untuk memberikan kebebasan dan status bagi Gereja. Pada tahun 313, ia bersama-sama Lucinius secara resmi mengeluarkan Edik Milano (Edict of Milan) yang menjamin kebebasan beragama di seluruh kekaisaran. Instruksi tersebut berbunyi: "Tujuan kita ialah untuk mengizinkan baik orang-orang Kristen maupun yang lain dengan bebas beribadah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing."
Segera Konstantinus menaruh perhatian pada Gereja, memulihkan harta, menyumbangkan uang, mengendalikan kontroversi dengan kaum Donatis serta mengadakan konsili-konsili Gereja di Arles dan Nicea. la juga berebut kekuasaan dengan Licinius, yang ia gulingkan pada tahun 324.
Dengan demikian Gereja tidak lagi menjadi sasaran serangan, melainkan mendapat perlakuan istimewa. Dalam waktu yang sangat singkat, prospeknya berubah sama sekali. Setelah berabad-abad lamanya sebagai gerakan kebudayaan tandingan, Gereja diharuskan belajar cara menangani kekuasaan. Namun, semuanya tidak dilakukan dengan baik. Kehadiran Konstantinus yang dinamis membentuk Gereja pada abad keempat dan seterusnya. Ia adalah pakar kekuasaan dan politik, dan Gereja pun belajar menggunakan alat-alat tersebut.
Apakah penglihatan Konstantinus itu autentik ataukah ia hanya seorang oportunis yang memperalat kekristenan untuk kepentingannya sendiri? Hanya Allah yang tahu jiwanya. Meskipun dalam beberapa hal ia telah gagal mencerminkan keyakinannya, penguasa itu sesungguhnya telah mengambil perhatian aktif dalam kekristenan yang dianutnya, yang terkadang membahayakan dirinya sendiri.
Allah sesungguhnya memakai Konstantinus untuk memberi kemudahan bagi Gereja; sang kaisar itu menegaskan dan menjamin toleransi resmi bagi keyakinan ini. Namun, ia hanya mengikuti jejak Galerius yang sudah hancur yang sebelumnya telah melakukan hal itu. Dengan demikian, peperangan melawan penyiksaan Kekaisaran Romawi dimenangkan bukan di Milvian Bridge tetapi di arena-arena, ketika orang-orang Kristen dengan berani menyongsong kematian.
011) Tahun 325 Konsili Nicea
Konsili Nicea, A.D. 325
Meskipun Tertullianus telah merumuskan bagi Gereja bahwa Allah itu memiliki satu hakikat: terdiri atas tiga pribadi, namun ia belum memberi pengertian lengkap tentang Tritunggal. Sesungguhnya, doktrin ini telah membingungkan para teolog besar.
Pada awal abad keempat, seorang imam di Alexandria, Mesir – Arius – menyebut dirinya Kristen. Namun Arius menerima juga teologi Yunani yang mengajarkan bahwa Allah itu unik adanya dan tidak dapat dikenal. Menurut pemikiran itu, Allah begitu beda, yaitu bahwa Dia tidak dapat membagi hakikat-Nya dengan apa pun. Hanya Allah yang bisa menjadi Allah. Dalam bukunya yang berjudul Thalia, Arius menyatakan bahwa Yesus memiliki sifat keilahian, Namun bukan Allah. Hanya Allah Bapa, kata Arius, abadi adanya. Jadi, Putra-Nya itu merupakan manusia yang diciptakan. Ia seperti Bapa, tetapi bukan Allah.
Banyak dari antara bekas kafir menyenangi pandangan Arius. Karena dengan pandangan itu, mereka mendapat peluang mempertahankan ide yang telah mendarah daging, yaitu Allah yang tidak dapat dikenal, dan memandang Yesus sebagai pahlawan super yang bersifat ilahi, tidak berbeda dengan pahlawan-pahlawan yang ada dalam mitologi Yunani.
Sebagai seorang pengajar yang pandai berbicara, Arius tahu cara membuat sebagian besar pendapatnya menarik, bahkan menyusunnya menjadi lagu, yang dinyanyikan oleh kaum jelata.
Banyak yang bertanya: mengapa orang-orang menghebohhan ide Arius? Namun Alexander, uskup atasan Arius memandang bahwa, agar dapat menyelamatkan dosa manusiawi, Yesus haruslah sungguh-sungguh Allah. Alexander memutuskan agar Arius dihukum oleh sinode, namun imam yang populer itu mempunyai banyak pendukung. Maka timbullah kerusuhan di Alexandria karena persaingan teologis yang sangat mudah menyinggung perasaan ini, dan para rohaniwan lain pun mulai berpihak pada masing-masing kubu.
Begitu kerusuhan timbul, Kaisar Konstantinus tidak dapat lagi memandang perdebatan itu sebagai "persoalan agama belaka". "Persoalan agama" ini mengancam keamanan negara. Untuk menangani masalah ini, Konstantinus mengadakan konsili di seluruh kekaisaran di kota Nicea, Asia Kecil.
Dengan memakai jubah aneka warna yang dihiasi permata, Konstantinus membuka konsili tersebut. la berseru kepada lebih dari tiga ratus uskup yang hadir agar mereka menyelesaikan masalah ini. Perpecahan dalam Gereja, katanya, lebih buruk daripada peperangan, karena melibatkan jiwa-jiwa abadi.
Penguasa itu membiarkan para uskup itu berdebat. Ketika Arius berhadapan dengan mereka, ia dengan jelas menyatakan bahwa Anak Allah itu adalah manusia yang diciptakan dan tidak seperti Bapa, la dapat berubah.
Pertemuan itu menolak dan mengutuk pandangan Arius tersebut. Namun mereka perlu bertindak lebih jauh. Untuk menjelaskan pandangan mereka sendiri dibutuhkan suatu pengakuan iman.
Maka mereka merumuskan beberapa pernyataan tentang Allah Bapa dan Allah Anak. Mereka menjelaskan bahwa Anak adalah "Allah sejati dari Allah sejati, diperanakkan bukan dijadikan dan sehakikat dengan Bapa".
Istilah "satu hakikat", menjadi sasaran kritik. Kata Yunani yang mereka pakai ialah homoousios. Homo artinya "sama" ousios artinya "hakikat". Kubu Arius menambahkan satu huruf dalam kata itu: Homoiousios yang artinya ialah "keserupaan hakikat".
Semua uskup, kecuali dua orang, menandatangani pernyataan iman. Mereka berdua dan Arius diasingkan. Konstantinus agaknya puas akan hasil prakarsanya itu. Namun itu tidak bertahan lama.
Meskipun Arius menghilang untuk sementara, teologinya bertahan beberapa dekade lamanya. Seorang diaken dari Alexandria, Athanasius, menjadi salah seorang lawan yang tangguh bagi Arianisme. Pada tahun 328, Athanasius menjadi uskup di Alexandria dan melanjutkan "peperangan" dalam jemaatnya.
Akan tetapi "pertempuran" itu meluas ke seluruh Gereja wilayah Timur, sampai pada Konsili lain yang diselenggarakan pada tahun 381, di Konstantinopel. Konsili tersebut mensahkan ulang Konsili Nicea. Namun demikian, jejak-jejak pemikiran Arius tidak hilang dari Gereja.
Konsili Nicea bukan saja mulai menyelesaikan masalah teologi, tetapi juga menjadi teladan bagi Gereja dan negara. Pada tahun-tahun berikutnya, ketika masalah rumit muncul di Gereja, maka hal itu diselesaikan melalui kebijaksanaan kolektif para uskup. Konstantinus mulai dengan praktik menyatukan negara dan Gereja dalam hal mengambil keputusan. Namun, hal ini menimbulkan masalah pada abad-abad berikutnya.
Sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html#5512
012) Tahun 367 Surat Athanasius Mengakui Kanon Perjanjian Baru
St. Athanasius. He was born around AD 298, and lived in Alexandria, Egypt, the chief center of learning of the Roman Empire.
Bagaimana seorang Kristen dapat memastikan buku apa saja yang harus ada dalam Perjanjian Baru?
Ketika Paulus mengutarakan tentang Kitab Suci kepada Timotius ("Segala tulisan yang diilhamkan ..." [2 Tim. 3:16]), ia menunjuk pada Perjanjian Lama. Namun pada halaman Perjanjian Baru pun sudah terdapat petunjuk bahwa orang-orang Kristen sudah mulai menganggap Injil dan surat-surat Paulus sebagai sesuatu yang khusus. Petrus pernah menulis bahwa surat-surat Paulus terkadang agak "sukar dipahami". Namun, kebijakan Paulus adalah pemberian Allah, dan Petrus marah kepada "orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya" yang memutarbalikkan kata-kata Paulus seperti mereka memutarbalikkan tulisan-tulisan lainnya (2 Ptr. 3:16). Jelaslah bahwa Petrus mulai sadar bahwa orang-orang Kristen memiliki tulisan-tulisan yang berisikan moral di samping tulisan-tulisan Perjanjian Lama.
Orang-orang Yahudi telah membakukan bahwa beberapa buku yang kita sebut Perjanjian Lama diilhami Allah, sedangkan yang lain tidak. Ketika orang-orang Kristen berhadapan
dengan berbagai ajaran sesat, mereka mulai merasakan pentingnya membedakan tulisan-tulisan yang sesungguhnya diilhami Allah dan yang meragukan.
Dua kriteria penting yang dipakai Gereja untuk mengenal kanon (canon adalah istilah Yunani yang artinya "standar") adalah yang berasal dari para rasul dan tulisan-tulisan yang dipakai di Gereja-gereja.
Dalam mempertimbangkan tulisan rasuli, Gereja menganggap Paulus sebagai salah seorang rasul. Meskipun Paulus tidak berjalan bersama-sama dengan Kristus, Paulus bertemu dengan Kristus dalam perjalanannya ke Damaskus. Aktivitas penginjilannya yang tersebar luas – yang dibenarkan dalam Kisah Para Rasul – menjadikannya model seorang rasul.
Setiap Injil harus dihubungkan dengan seorang rasul. Dengan demikian, Injil Markus yang dihubungkan dengan Petrus dan Injil Lukas yang dihubungkan dengan Paulus, mendapat tempat dalam kanon. Setelah para rasul wafat, orang-orang Kristen sangat menghargai kesaksian yang ada dalam Injil tersebut, meskipun Injil tersebut tidak mengungkapkan nama rasul yang terkait.
Tentang penggunaan tulisan di Gereja, petunjuknya ialah, "Jika banyak Gereja memakai tulisan tersebut dan jika tulisan tersebut dapat terus-menerus meningkatkan moral mereka, maka tulisan tersebut diilhami". Meskipun standar ini menunjukkan pendekatan yang agak pragmatis, namun ada juga logikanya di balik itu. Sesuatu yang diilhami Allah akan mengilhami juga para penyembah-Nya: Tulisan yang tidak diilhami pada akhirnya akan lenyap juga.
Malangnya, standar-standar tersebut saja tidak cukup untuk menentukan sebuah kitab sebagai kanon. Banyak tulisan ajaran sesat membawa-bawa nama rasul. Di samping itu, ada Gereja-gereja yang memakai tulisan tersebut sedangkan yang lainnya tidak.
Menjelang akhir abad kedua, keempat Injil, Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus sangat dihargai hampir di semua pelosok. Meskipun tidak pernah ada daftar "resmi", Gereja-gereja cenderung berpaling pada tulisan-tulisan ini karena dianggap memiliki otoritas spiritual. Para uskup yang berpengaruh seperti Ignasius, Clemens dari Roma dan Polikarpus telah menjadikan tulisan-tulisan ini mendapat pengakuan yang luas. Namun perdebatan masih berlangsung terhadap Kitab Ibrani, Yakobus, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes, Yudas serta Wahyu.
Ajaran sesat mempunyai cara tersendiri untuk membuat orang-orang Kristen ortodoks menjernihkan posisi mereka. Sejauh pengetahuan kita, upaya pertama membuat kanon ini dilakukan Marcion (penganut ajaran sesat), yang mengikutsertakan hanya sepuluh dari tiga belas surat-surat Paulus dan Injil Lukas yang telah diubah secara besar-besaran. Di kemudian hari, kelompok ajaran sesat ini menghargai buku "rahasia" mereka sendiri yang biasanya mencantumkan nama-nama para rasul.
Daftar ortodoks mula-mula, yang disusun sekitar tahun 200, adalah Kanon Muratori Gereja Roma. Daftar ini meliputi sebagian besar Perjanjian Baru seperti pada masa kini, dan menambahkan Wahyu Petrus dan Kebijaksanaan Salomo. Kumpulan yang muncul di kemudian hari telah menghapuskan satu buku dan membiarkan yang lain, namun semuanya itu tetap mirip. Karya-karya seperti Gembala Hermas, Didache dan Surat Barnabas sangat disanjung, meskipun banyak orang enggan mengakui buku itu sebagai tulisan yang diiihami.
Pada tahun 367, Athanasius, uskup Alexandria yang ortodoks dan berpengaruh itu, menulis Surat Paskah (Easter Letter) yang beredar cukup luas. Di dalarnnya ia menyebut kedua puluh tujuh buku yang ada dalam Perjanjian Baru. Dengan harapan mencegah jemaatnya dari kesalahan, Athanasius menyatakan bahwa tiada buku lain dapat dianggap sebagai Injil Kristen, meskipun ia longgarkan beberapa, seperti Didache, yang menurutnya, akan berguna bagi ibadah pribadi.
Kanon yang dibuat Athanasius tidak menyelesaikan masalah. Pada tahun 397, Konsili Kartago mensahkan daftar kanon tersebut, tetapi Gereja-gereja wilayah Barat agak lamban menyelesaikan kanon. Pergumulan berlanjut atas kitab-kitab yang dipertanyakan, meskipun pada akhirnya semua pihak menerima Kitab Wahyu.
Pada akhirnya, daftar kanon yang dibuat Athanasius mendapat pengakuan umum, dan sejak itu Gereja-gereja di seluruh dunia tidak pernah menyimpang dari kebijakannya.
sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html#5512
013) Tahun 385 Uskup Ambrosius Menentang Ratu
Ambrosius, uskup Milan, tidak mengizinkan Kaisar Theodosius masuk gereja karena pelanggarannya memuja dewa-dewa di Konstantinopel.
Di Milan, prajurit-prajurit mengepung katedral. Uskup Ambrosius diperintahkan Ratu Justina untuk melepaskan kendali atas gedung tersebut, namun ia menolak. Para pengawal kaisar, orang Jerman, melaksanakan perintah itu dengan paksa. Orang-orang Jerman tersebut bukan saja menunjukkan kesetiaannya yang lain, tetapi mereka juga adalah pengikut Arius, sedangkan sang uskup berpegang teguh pada ajaran Ortodoks dari Konsili Nicea.
Banyak orang mengira bahwa akan ada suatu pembantaian umat yang berada di gedung katedral itu, namun orang-orang yang menonton di luar gereja mendengar mazmur yang berkumandang lewat udara. Kekuatan kekaisaran disambut dengan iman yang tenang.
Orang yang menjadi pusat pertikaian ini adalah Uskup Ambrosius, salah satu pemimpin Gereja yang tangguh, yang pernah dimiliki oleh Gereja, anak seorang pejabat tinggi dalam pemerintahan Konstantinus. Pemuda Ambrosius sebenarnya dipersiapkan untuk mengikuti jejak ayahnya. Setelah ia menyelesaikan studinya di bidang hukum, ia ditunjuk sebagai Gubernur Milan dan daerah sekitarnya. Banyak orang menganggapnya sebagai orang yang adil dan mampu menjadi pemimpin yang hebat.
Ketika Ambrosius memangku jabatan gubernur, orang yang menjadi uskup Milan adalah Auxentius, seorang pengikut Arius. Ia meninggal tahun 374, dan meledaklah kerusuhan ketika Gereja ingin memilih penggantinya. Sebagai seorang pejabat pemerintah, Ambrosius pergi untuk melerai pertikaian tersebut.
Dari kerumunan massa, seseorang berteriak "Ambrosius saja uskupnya!" Yang lain mendukung suara tersebut dengan gemuruh.
Masalahnya ialah, Ambrosius belum dibaptis. Meskipun ia telah lama percaya kepada Kristus, ia masih seorang katekumen. Tidak masalah. Kehendak massa menyeretnya untuk dibaptis dan melewati beberapa jenjang perantara. Delapan hari kemudian ia diangkat sebagai uskup Milan.
Arianisme kehilangan kekuasaan. Kaisar Timur terakhir, Valens, yang menjagoi aliran itu, wafat pada tahun 378. Gratianus, Kaisar wilayah Barat, menunjuk Jenderal Theodosius untuk memerintah belahan Timur kekaisaran tersebut dari Konstantinopel. Pada tahun 380, kedua kaisar itu mengeluarkan perintah yang menyatakan kekristenan Nicean sebagai agama resmi kekaisaran. Hal ini menjatuhkan sekte Aria secara efektif, kecuali di daerah pesisir, di antara orang-orang Goth dan di antara anggota keluarga kekaisaran.
Ambrosius memangku jabatan barunya sebagai uskup dengan serius. Ia mempelajari Kitab Suci dan para Bapa gereja dengan tidak henti-hentinya, dan ia pun mulai berkhotbah setiap hari Minggu. Sesungguhnya ia seorang orator yang baik, dan sekarang kata-katanya menyentuh lebih dalam lagi. Seseorang yang hidup pada zamannya, Basilius dari Kaesarea, menggambarkan Ambrosius sebagai "seorang terpelajar yang istimewa, keturunan tersohor, mulia dalam hidupnya dan mempunyai kemampuan berpidato yang cukup mengagumkan semua orang di dunia ini".
Salah seorang pengagumnya adalah Augustinus, seorang penulis pidato. Orang muda Kartago ini pernah mencoba-coba ajaran Manichaeisme dan dimanja oleh kaum kafir Roma. la dikirim ke Milan sebagai seorang guru dan ahli pidato bagi kaisar remaja Valentinianus II. Pada zaman dulu, kekuasaan kaisar berpusat di Milan, sementara senat memegang tampuk pemerintahan di Roma. Para senator umumnya masih berpegang pada cara-cara kafir Romawi, sedangkan para kaisar adalah Kristen. Besar kemungkinan Augustinus telah dikirim oleh para senator kafir untuk mempengaruhi kaisar muda itu.
Untuk kepentingan politik, Augustinus menjadi katekumen di Gereja Kristen. Dalam proses itu ia berkenalan dengan Ambrosius dan terkesan akan kesederhanaan serta wibawa uskup tersebut. Di kemudian hari, dengan disaksikan seorang pembantu Ambrosius, Augustinus dibaptis (bab selanjutnya menceritakan lebih banyak tentang Augustinus).
Ambrosius juga dikenal sebagai seorang penulis lagu. Bahkan pada abad keempat, musik dalam kebaktian menimbulkan kontroversi. Para kritikus khawatir eksperimen musik Ambrosius akan membuat orang tergila-gila menyanyikan pujian saja. Karenanya, tidaklah mengherankan bahwa saat Katedral Milan dikepung pada tahun 385, yang terdengar ialah puji-pujian. Besar kemungkinan salah seorang penyanyinya adalah Monica, ibunda Augustinus yang saleh.
Namun, ada wanita lain yang memicu konflik pada hari itu. Justina adalah ibunda Kaisar
Valentinianus, yang juga merupakan penerus Gratianus sebagai penguasa kekaisaran Romawi bagian Barat. Ia merupakan kekuasaan di belakang takhta Valentinianus. la, sebagai seorang penganut ajaran Arius, ingin menuntut Katedral Ambrosius dan gedung gereja lainnya di Milan untuk digunakan oleh jemaat Arian. Ambrosius menolak. Kemudian kaisar mengirim pasukan. Maka banjir darah pun hampir terjadi.
Namun kemudian pasukan pun bubar. Tak seorang pun tahu sebabnya. Ada yang berspekulasi bahwa mungkin Ambrosius berhasil mengirim berita itu kepada Theodosius, seorang non-Arian yang gigih, yang memerintah bagian Timur. Mungkin, pesan yang mengancam Valentinianus, tentang murka Theodosius, membuat bocah itu menekan rencana ibunya, atau Justina mungkin hanya menggertak saja. Walau bagaimanapun, Ambrosius berani menghadapi sidang kerajaan itu dan menang.
Di kemudian hari, Ambrosius berani menghadapi seorang kaisar — kali ini Theodosius sendiri. Kaisar tersebut telah bertindak berlebihan pada kerusuhan di Tesalonika, dengan mengirim pasukan untuk membantai warganya. Ambrosius menganggap hal itu adalah perbuatan yang mengerikan. Ia mengucilkan Theodosius sampai ia menyesali perbuatannya. Ini adalah kesaksian akan keberanian Ambrosius dan kerendahan hati Theodosius, bahwa ia kembali ke katedral dengan berpakaian goni dan berlutut di hadapan sang uskup untuk minta pengampunan.
Pada suatu masa, Gereja berhadapan dengan penyiksaan para kaisar. Dengan Ambrosius, pola yang berbeda antara gereja dan negara mulai berkembang.
Sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html#5512
014) Tahun 387 Pertobatan Agustinus
Aurelius Augustinus, Augustine of Hippo,
atau Saint Augustine (November 13, 354 – August 28, 430)
bersama ibunya Monica
"Tuhan, jadikan aku kudus, tapi jangan sekarang", doa seorang cendekia yang sedang menjajaki agama Kristen dan juga banyak hal lain. Setelah menyerahkan dirinya kepada Allah, ia tidak menghadapi masalah untuk hidup kudus dan menjadi salah seorang penulis paling berpengaruh yang pernah dimiliki Gereja.
Orang yang rumit ini adalah Aurelius Augustinus, yang lebih dikenal sebagai Augustinus. Lahir pada tahun 354, di Tagaste, ibunya bernama Monica adalah seorang Kristen yang saleh. Ayahnya bernama Patricius, seorang kafir, pejabat Romawi.
Mengamati kecerdasan anak mereka, Monica dan Patricius menyekolahkan Augustinus ke sekolah terbaik. Dia belajar ilmu retorika di Kartago dan diimbangi dengan membaca karya para penulis Latin seperti Cicero. Berpegang pada keyakinan atas apa yang dipelajarinya, bahwa kebenaran adalah tujuan kehidupan, mulanya ia menolak kekristenan karena menurutnya itu adalah agama bagi orang-orang bodoh.
Selama masa remajanya, Augustinus memiliki kekasih, seorang wanita yang kemudian memberinya seorang anak. Augustinus tidak suka mengenang masa-masa ia di Kartago. Ia mengomentari hal itu dalam bukunya Confessions (Pengakuan), sebagai berikut, "Aku datang ke Kartago, tempat aku tercebur ke dalam kancah nafsu yang membara." Pemuda yang bergejolak ini pernah mencoba Manichaeisme, yang mengajarkan bahwa dunia ini merupakan ajang pertempuran antara terang dan gelap, daging dan roh. Tapi Manicheisme gagal memuaskan hasratnya akan kebenaran sejati. Begitu pula halnya dengan Neoplatonisme.
Diburu oleh ketidakpuasan jiwanya sendiri, Augustinus berpindah-pindah dari Kartago ke Roma lalu ke Milan untuk mengajar ilmu retorika. Perkenalannya dengan Uskup Ambrosius di Milan menyadarkannya bahwa tidak semua orang Kristen berpikiran bodoh; orang ini cerdas.
Ketika sedang duduk-duduk di sebuah taman di Milan pada tahun 387, ia mendengar nyanyian anak kecil berkata, "Ambil dan bacalah; ambil dan bacalah." Augustinus membaca yang ada di dekatnya: Surat Paulus kepada Jemaat Roma. Saat ia membaca Roma 13:13-14, perkataan Paulus tentang mengenakan Tuhan Yesus sebagai perlengkapan senjata terang dan tidak merawat tubuh untuk memuaskan nafsu, ia percaya. Ia kemudian menuliskan, "Seakan cahaya iman mnemenuhi hatiku dan segala kabut keragu-raguan dilenyapkan."
Walau Augustinus merasa cukup dalam menjalani hidupnya sebagai biarawan, namun, reputasinya sebagai seorang Kristen yang cerdas menyebar. Pada tahun 391 ia didesak untuk ditahbiskan menjadi imam. Ia menjadi uskup di sebuah kota bernama Hippo di Afrika Utara pada tahun 395.
Setiap kontroversi pada masa itu melibatkan Uskup Augustinus. Sekelompok orang yang dikenal sebagai kaum Donatis merasa sangat prihatin dengan para rohaniwan yang tak bermoral. Di bawah tekanan Kaisar Diocletianus, beberapa rohaniwan menyerahkan kitab-kitab kepada pemerintah untuk dibakar. Beberapa dari para "penyerah" — begitulah sebutan untuk mereka — ini diteguhkan kembali sebagai rohaniwan. Kaum Donatis menolak para "pengkhianat" ini dan membuat Gereja tandingan. Ribuan orang Donatis hidup di daerah kekuasaan Augustinus.
Augustinus menolak adanya Gereja tandingan. Meski hanya ada sedikit orang kudus dalam gereja, katanya, Gereja adalah satu. Sakramen, yang oleh Augustinus dikatakan sebagai tanda kelihatan dari rahmat yang tak kelihatan, tidaklah efektif karena kebajikan sang imam, tapi karena anugerah Allah bekerja melalui sakramen-sakramen. Pandangan Augustinus unggul, dan Donatisme punah.
Adalah Pelagius, seorang guru kebangsaan Inggris, yang menyebarkan ajaran sesat bahwa karya pencarian manusia dalam memilih dan mencari Allah sangat penting. Meski rahmat Allah memegang peranan, tapi itu hukanlah semuanya. Pelagius tidak mengatakan bahwa manusia dapat menyelamatkan dirinya sendiri, tapi dia menyangkal bahwa dosa diturunkan dari Adam.
Augustinus membantah bahwa tidak ada yang dapat memilih kebaikan kecuali Allah yang menuntunnya. Bahkan, Allah telah menetapkan pemilihan itu, orang tebusan-Nya, dan tidak ada yang dapat dilakukan manusia untuk mengubah keputusan kekal tersebut. Pada tahun 431, setahun setelah kematian Augustinus, Konsili Efesus secara resmi mengutuk Pelagianisme.
Augustinus tidak hanya menentang ajaran sesat, ia juga menulis perjalanan rohaninya sendiri dalam bukunya Confessions, yang boleh jadi merupakan autobiografi rohani pertama. Kalimat terkenal "Hati kami gelisah sampai beristirahat di dalam-Mu" berasal dari paragraf pembukaannya.
Karena ajaran Augustinus sudah sebegitu mendasar bagi kekristenan, kita tidak menyadari betapa orisinilnya ia pada masanya. Pemikirannya telah meresap sampai pada para teolog Katolik dan Protestan. Luther dan Calvin acapkali menyitirnya; mereka menyukai tekanannya pada rahmat Allah dan ketidakmampuan manusia untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Augustinus telah menulis ratusan risalah, surat dan ulasan. Karya klasiknya On the Trinity (Tentang Trinitas) mungkin merupakan karya terbaik berkenaan dengan hal itu. Namun, karya terpentingnya ialah City of God (Kota Allah), sebuah karya monumental berkenaan dengan jatuhnya Roma ke tangan orang-orang Visigoth. Banyak orang menyalahkan orang-orang Kristen dengan mengatakan bahwa Roma jatuh karena rakyatnya telah mengabaikan para dewa asli mereka. Lalu Augustinus menjawab dengan mempertahankan dan menjelaskan rencana serta karya Allah dalam sejarah. Sejak Kain dan Habel, katanya, telah ada dua kota di dunia: Kota Allah (kaum beriman) dan Kota Manusia (kaum kafir). Meski mereka saling berimpitan, Allah akan memastikan bahwa Kota Allah, Gereja, akan bertahan selamanya.
Meski Augustinus menulis pada akhir zaman kuno, buah pikirannya mendominasi para sarjana pada Abad Pertengahan sampai masa Reformasi.
Sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html#5512
015) Tahun 398 Yohanes Chrysostomus Menjadi Uskup Konstantinopel
Yohanes Chrysostomus
Sebuah pergolakan tentang pajak membuat Yohanes Chrysostomus pertama kali menjadi perhatian khalayak. Ia adalah seorang imam di Antiokhia, ketika Kaisar Theodosius mengeluarkan peraturan pajak baru, tahun 387. Rakyat Antiokhia marah. Mereka membuat kerusuhan, menyerang para pegawai kekaisaran dan merusak patung Theodosius serta keluarganya, sebagai protes. Namun ketertiban dapat segera dipulihkan, dan rakyat menunggu hukuman.
Flavianus, uskup di Antiokhia, bergegas menuju ibu kota, Konstantinopel, untuk memohon belas kasihan kepada kaisar. Terdengar kabar bahwa Theodosius telah mengirim tentara untuk membantai warga yang telah menyusahkannya. Sementara uskup dan sekelompok biarawan memohon kepada kaisar, Yohanes mencoba menenangkan massa. Dalam rangkaian dua puluh khotbah Homilies on the Statues (Khotbah di Depan Patung), ia mengilhami, berkhotbah dan mengendalikan massa. Itu adalah khotbah profetik terbaik.Uskup kembali dengan berita pengampunan, dan Yohanes mendesak rakyat mengubah hidup mereka agar menjadi lebih baik.
Ini bukanlah situasi politik panas terakhir yang dihadapi Yohanes. Dia menghadapinya dengan keberanian, kesetiaan dan mungkin dengan sedikit kesombongan.
Mungkin ia mempelajari hal itu dari ibunya. Ayahnya adalah seorang perwira militer yang tewas tak lama setelah Yohanes lahir. Anthusa baru dua puluh tahun dan cantik, tapi ia menolak semua lamaran yang ditujukan kepadanya agar ia dapat membesarkan Yohanes dan kakak perempuannya sebaik mungkin. Dia berasal dari keluarga berada dan mampu memberikan pendidikan yang sangat bagus bagi Yohanes, termasuk belajar ilmu retorika pada seorang guru kafir terkenal, Libanius. Yohanes juga mempelajari hukum, tapi lebih tertarik menjalani kehidupan sederhana. Ia masuk biara tak lama setelah kematian ibunya.
Yohanes kembali ke kota kelahirannya, Antiokhia, tahun 381 dan ditahbiskan menjadi diaken. Uskup waktu itu rnenyadari kemampuan komunikasinya dan menjadikannya imam serta pengkhotbah utama pada salah satu jemaat Antiokhia. Dalam kedudukannya inilah ia menghadapi pergolakan mengenai pajak. Pada tahun-tahun berikutnya ia semakin dikenali karena kemampuannya berkhotbah. Begitulah ia mendapatkan julukan Chrysostomus, dari Bahasa Yunani yang berarti "mulut emas".
Setelah mengikuti sekolah teologi Antiokhia, Yohanes melakukan pendekatan harfiah terhadap Alkitab (bertentangan dengan interpretasi secara alegoris yang dilakukan sekolah Alexandria). Dia juga menekankan sisi kemanusiaan Yesus pada saat orang lain mengacuhkan hal itu. Chrysostomus mengkhotbahkan rangkaian panjang tentang pesan-pesan Kitab Kejadian, Injil Matius, Yohanes dan Surat Roma, yang kebanyakan masih kita miliki. la juga menulis tafsiran-tafsiran.
Tahun 397, keuskupan Konstantinopel kosong. Itu merupakan kedudukan terhormat di ibu kota. Kaisar Arcadius memilih Yohanes si Mulut Emas itu, keputusan yang kemudian disesalinya.
Begitu populernya Yohanes di Antiokhia sehingga ia harus diculik untuk bisa sampai di
Konstantinopel. Namun ia baru dikukuhkan menjadi uskup di ibu kota tahun 398. Pengukuhan dilakukan Uskup Theophilus dari Alexandria. Demi alasan politik, Theophilus menyebabkan masalah besar bagi Yohanes. Ia ingin Yohanes tunduk kepadanya dan ia merasa iri karena memperoleh kedudukan uskup hanya karena keahliannya berkhotbah. Theophilus juga menentang ajaran teologi Origenes yang dianut Yohanes. Yohanes tidak melakukan apaapa untuk menenangkan Theophilus.
Yohanes mencoba melayani lingkungan kaum Gothic di kota, menerima mereka tetapi tetap menolak aliran sesat Arius yang mereka anut. Ia juga berkhotbah menentang keras segala perbuatan dosa yang dilihatnya – dan ia melihatnya terjadi di antara para rohaniwan. Imam-imam terlibat dalam hal-hal amoral, dan dia berniat menghentikannya. Melalui khotbahnya, dia juga menentang cara berpakaian para wanita di Konstantinopel yang tidak senonoh. Entah sengaja atau tidak, Ratu Eudoxia merasa tersinggung mendengar kata-katanya.
Theophilus mendapat kesempatan ketika Yohanes menerima empat biarawan yang belajar di Alexandria (mereka adalah penganut teologi Origenes). Uskup dari Alexandria berkunjung ke Konstantinopel dan mengumpulkan musuh-musuh Yohanes. Mereka mengadakan pertemuan pada tahun 403 di sebuah tempat bernama Oak, serta mengutuk ajaran-ajaran Yohanes dan mengusirnya dari gereja.
Akan tetapi Eudoxia yang percaya takhayul, ketakutan setelah terjadi beberapa bencana, seperti gempa yang melanda istana selang beberapa waktu setelah pertemuan itu. Dengan segera dia meminta kaisar membatalkan keputusan pertemuan tersebut. Setahun kemudian Yohanes dibawa kembali. Tanpa takut, ia terus mengemukakan pendapatnya – terutama ketika patung Eudoxia didirikan di sebelah katedral.
Ratu marah. Bala tentara kekaisaran menghentikan sebuah ibadah Paskah, dan beberapa pengikut Yohanes dibunuh. Yohanes diusir dalam pengasingan, di suatu tempat yang suram dekat Armenia, yang disebut Cucusus. Paus Innocentius I memprotes perlakuan ini tetapi sia-sia. Kaisar bagian Timur memperoleh kemauannya sendiri. Dalam pengasingannya pun Yohanes terus mengadakan hubungan dengan para pengikutnya, memberi petunjuk tentang hal-hal gerejawi. Maka sang kaisar memutuskan untuk membuangnya lebih jauh lagi.
Begitulah cara Yohanes menemui ajalnya pada tahun 407, yaitu ketika mengadakan perjalanan ke pengasingan yang lebih jauh. Beberapa dekade berikutnya, Paus Innocentius berupaya menjernihkan nama Yohanes dengan mendesak Uskup Theophilus dan yang lainnya untuk menyertakan Yohanes dalam daftar orang-orang yang didoakan Gereja.
Warisan yang ditinggalkan Yohanes ialah khotbahnya yang baik. Ia memajukan eksposisi harfiah Alkitab gaya Antiokhia, dan ia merupakan salah satu pemimpin Gereja (bersama dengan Ambrosius) yang dengan berani menghadap para penguasa dan menyerukan, "Demikianlah firman Tuhan ..." Pada masa-masa kritis dalam sejarah Gereja, orang lain pun akan menyerukan hal yang sama.
016) Tahun 405 Hieronimus Menyelesaikan Vulgata
'St. Hieronymus' dalam lukisan Caravaggio, circa 1601
St. Jerome (Eusebius Hieronymus), c.347-420 adalah seorang penterjemah Alkitab ke dalam bahasa Latin yang dikenal dengan VULGATA. Sejak awal, Gereja telah menyetujui pentingnya penerjemahan Alkitab. Meskipun Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani yang umum telah dimengerti secara luas di Kekaisaran Roma, tidak setiap orang mengetahui bahasa tersebut. Gereja juga mempunyai tujuan agar setiap insan dapat dijangkau Injil.
Penerjemahan awal telah muncul dalam berbagai bahasa, terutama bahasa Latin (yang lambat-laun menjadi bahasa kekaisaran), Siria dan Koptik. Kita dapat mengagumi semangat para penerjemah terdahulu, meskipun sayang, mereka tidak selalu fasih dalam bahasa Yunani.
Dari tahun 366 sampai dengan 385, Damasus menjadi uskup Roma. Meskipun keuskupan Roma sangat dihormati, keuskupan itu tidak pernah meraih kekuasaan melampaui keuskupan-keuskupan lain, dan Damasus senang kekuasaan. Ia ingin membebaskan kekristenan Barat dari dominasi Timur. Sejak lama bahasa Yunani telah menjadi bahasa yang telah diterima di gereja, tetapi Damasus ingin bahasa Latin yang menjadi bahasa gereja Barat. Satu-satunya jalan untuk mencapai hal ini ialah menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Latin.
Nama sekretaris Damasus ialah Eusebius Hieronimus Sophronius (di gereja yang berbahasa Inggris ia lebih dikenal dengan nama Jerome). Ia terdidik dalam kesusastraan Latin dan Yunani klasik, dan Hieronimus marah pada dirinya sendiri karena kegemarannya terhadap penulis-penulis sekular. Untuk menghukum dirinya ia menjalani kehidupan yang menolak hal-hal duniawi dan menyendiri ke Siria untuk mempelajari bahasa Ibrani. Ketika ia menjadi sekretaris Damasus. Hieronimus telah menjadi salah seorang terpelajar yang terhebat.
Maka Damasus pun menyarankan agar sekretarisnya mempersiapkan terjemahan Alkitab dalam bahasa Latin untuk menggantikan ketidaktepatan terjemahan-terjemahan lama. Damasus menginginkan keseragaman. Sama seperti kebaktian di gereja-gereja yang dibakukan di bawah kekuasaannya, ia menginginkan kumpulan baku Kitab Suci.
Hieronimus mengawali karyanya pada tahun 382. Ketika Damasus meninggal pada tahun 384, Hieronimus agaknya memupuk keinginan untuk menjadi uskup di Roma. Karena ia kecewa tidak dipilih menjadi uskup Roma, dan karena ia sendiri ingin menjauhkan diri dari gangguan masalah ini, maka ia pindah dari Roma ke Tanah Suci, dan berdiam di Bethlehem. Pada tahun 405 ia menyelesaikan terjemahan ini. Namun, bukan itu raja tugasnya. Selama dua puluh tiga tahun itu, ia juga membuat berbagai ulasan dan tulisan lainnya serta bertindak sebagai penasihat spiritual bagi para janda kaya dan sangat saleh. Ia terlibat dalam setiap pertikaian teologi pada zamannya, menulis surat-surat dengan bahasa indah – dan acap kali pedas – yang hingga saat ini merupakan bacaan yang mengesankan.
Hieronimus memulai penerjemahannya dari Septuaginta, versi Perjanjian Lama Yunani. Namun, ia segera menjadi teladan bagi semua para penerjemah Perjanjian Lana yang baik: menerjemahkannya dari bahasa lbrani asli. Untuk ketepatan terjemahan, ia berkonsultasi dengan banyak rabi Yahudi.
Hieronimus sungguh terperanjat dengan fakta bahwa Kitab Suci bahasa Ibrani tidak mencakup kitab-kitab apa yang kita sebut Apokrif. Karena kitab-kitab tersebut telah disertakan dalam Septuaginta, Hieronimus terpaksa menyertakannya dalam terjemahannya. Namun, ia memperjelas maksudnya: Ini adalah liber ecclesiastici ('kitab-kitab Gereja"), bukan liber Canonici ("kitab-kitab kanon"); meskipun kitab-kitab Apokrif dapat dipakai untuk pembinaan, namun tidak dapat mengukuhkan doktrin. Ratusan tahun kemudian, para pemimpin reformasi bertindak selangkah lebih maju dengan tidak menyertakannya sama sekali dalam Alkitab Protestan.
Perpustakaan ilahi, begitulah Hieronimus menjuluki Alkitab, akhirnya tampil dengan penulisan yang baik, versi yang akurat dan dalam bahasa yang umumnya dipakai di gereja-gereja Barat. Kitab tersebut dikenal dengan narna Vulgata (dari istilah Latin vulgus, "umum"). Pengaruh Hieronimus yang sangat besar itu membuat para ahli Abad Pertengahan menyanjung tinggi terjemahannya. Martin Luther, yang tahu bahasa Ibrani dan Yunani, mengutip dari Vulgata sepanjang hidupnya.
Karena karya Hieronimus mempunyai meterai tanda sah dari Gereja, para penerjemah lainnya tidak berpeluang mengikuti jejaknya. Sampai pada Reformasi, hanya beberapa terjemahan saja yang terdapat dalam bahasa-bahasa Eropa pada umumnya. Bahkan kemudian, para penerjemah berpaling pada Vulgata daripada menggunakan Perjanjian Baru yang ada dalam bahasa Yunani.
Ironisnya, terjemahan Alkitab dalam bahasa yang dapat digunakan di setiap gereja Barat inilah yang mungkin menyebabkan baik kebaktian maupun Alkitab itu sendiri tidak dapat dimengerti orang awam. Terjemahan Hieronimus telah rnernberi bahasa Latin dorongan yang diinginkan Damasus, tetapi Vulgata dikeramatkan sedemikian rupa sehingga penerjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa umum dilarang.
Sumber : http://www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt1555.html#5512
Subscribe to:
Posts (Atom)